Kamis, 11 Desember 2008

Worskhop Sastra di Sanggar Akar

Sudah lama saya ingin mengisi kuliah di sanggar akar dengan kegiatan workshop Sastra. Ide ini sempat saya lontarkan pada Ibe Karyanto yang lebih dikenal di kalangan anak-anak akar dengan panggilan “Uwak” lebih dari setahun lalu. Akan tetapi rencana ini cukup lama tenggelam meski dan baru terlaksana menjelang ulang tahun akar ke-14. Saya bukanlah orang yang tahu sastra. Saya hanya merasa membaca cukup banyak karya sastra. Dari situlah saya belajar banyak. Ada begitu banyak novel dan penulis yang saya sukai. Beberapa novel juga memberi inspirasi dalam hidup saya, menemani saya pada saat harus berjuang dalam kesepian.

Sebagai seorang jurnalis saya belajar banyak dari sastra. Di rumah saya membiasakan anak saya, Oxi, membaca sejak kecil. Sejak kelas 5 SD, ia saya perkenalkan dengan karya sastra. Barangkali ia belajar lebih banyak dari kegiatan membaca di rumah daripada yang ia peroleh dari bangku sekolah.

Saya menggunakan pendekatan literasi kritis dalam workshop ini. Literasi kritis hanya dibicarakan sedikit orang di Indonesia. Padahal pendekatan ini cukup populer, termasuk di negeri-negeri kapitalis seperti Amerika Serikat dan Australia. Literasi kritis membantu kita untuk tidak sekedar membaca teks tetapi juga menelaah secara kritis bagaimana teks itu dikonstruksi dalam relasinya dengan kekuasaan.

Dalam workshop ini saya menggunakan novel “Sekali Peristiwa di Banten Selatan” karya Pramoedya Ananta Toer. Novel ini saya pilih karena ini merupakan salah satu novel Indonesia yang bagus, ditulis oleh sastrawan yang hebat, dan bukunya relatif tipis. Pilihan ini saya ternyata cocok dengan anak-anak yang mengikuti workshop ini. Sekitar 15 anak ikut dalam workshop ini. Ada yang masih berumur 13 tahun, ada yang sudah lulus SMA.

Workshop ini terbagi dalam tiga sesi. Sesi terakhir akan diisi dengan pembuatan blog. Pada sessi pertama, saya awali dengan berbagi cerita mengenai novel yang paling menarik yang pernah dibaca. Saya senang sekali bahwa hampir seluruh anak sering membaca buku. Mereka bisa bercerita tentang novel-novel yang menurut mereka paling menarik. Ada Harry Potter, Laskar Pelangi, bahkan ada beberapa anak yang sudah membaca sejumlah buku tetra lurgi Pramoedya Ananta Toer. Ini berbeda sekali dengan pengalaman saya mengajar di sebuah universitas swasta di Jakarta maupun dalam diskusi dengan komunitas jurnalistik di sebuah SMA Negeri paling top yang ada di Jakarta. Mereka jarang membaca buku. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengenal Pramoedya Ananta Toer.

Setelah berbagi pengalaman, anak-anak dibagi dalam beberapa kelompok. Di tiap kelompok anak-anak bergantian membaca keras-keras bab pertama dari novel Banten Selatan. Tujuannya utamanya adalah supaya anak membiasakan membaca sampai selesai bab pertama. Biasanya, bab pertama adalah bagian yang tersulit bagi mereka yang belum terbiasa membaca buku. Karena itu dalam pembelajaran sastra, ada baiknya bab pertama dibahas bersama-sama. Setelah anak-anak selesai, kami mendiskusikan bab pertama. Mereka bilang bahwa buku ini mudah dibaca, bahasanya mudah, dan hidup. Kami juga mendiskusikan tentang kharakter utama dalam buku ini. Sessi ini diakhiri dengan tugas. Setiap anak diminta menulis berita, tinjauan buku, cerpen, atau naskah drama dari bagian buku ini.

Dalam pertemuan berikut, anak-anak membawa karya yang ditulisnya. Ada seorang anak yang menulis naskah drama. Kami mulai sessi kedua dengan mendiskusikan isi buku dan membahas bersama apa yang ditulis anak. Di sini anak diajak mengungkapkan pendapat mereka tentang tokoh-tokoh utama maupun isi cerita. Mereka mengidentifikasi Musa sebagai juragan yang jahat, berkong-kalikong dengan gerombolan dan pak lurah untuk menindas petani. Mereka bersimpati kepada Ranta dan isterinya Ireng, petani miskin yang tertindas. Akan tetapi mereka belajar bahwa mereka tidak menyerah. Petani-petani itu berani melawan penindasan, tidak dengan amok kekerasan, tetapi dengan strategi yang baik dan akhirnya menang.

Ada tiga aktivitas utama dalam kegiatan tersebut. Membaca, berbicara di depan umum, dan menulis. Inilah tiga aktivitas utama dalam komunikasi yang menjadi kelemahan anak-anak sekolah.

Sessi kedua diisi pula dengan belajar menulis deskripsi dan narasi. Anak-anak saya minta menuju ruangan di kompleks sanggar yang paling berkesan bagi mereka. Mereka saya minta mengamati dan merekam dengan pancaindra mereka. Ketika mereka berkumpul kembali, saya minta mereka bernapas seperti lebah dan kemudian terbang sebagai seekor lebah. Dengan suara mendengung mereka terbang di atas Kali Malang, melihat sanggar dari atas, kemudian masuk ke dalam kompleks sanggar Akar, dan mencari ruangan yang paling mereka sukai. Selesai mengamati mereka terbang lagi ke luar sanggar, masuk lagi, dan kembali bersatu dengan tubuh mereka. Cara ini akan membantu kita dalam mendeskripsikan dan menceritakan sesuatu. Deskripsi dan narasi merupakan kelemahan utama penulis di Indonesia, baik itu jurnalis maupun novelis.

Ini merupakan beberapa contoh karya yang ditulis anak-anak dari “reportase” Pramoedya yang ditulis dalam buku Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Menurut saya, tulisan-tulisan ini cukup bagus. Bila anak-anak ini rajin membaca, terus-menerus menulis, mereka pasti akan menjadi penulis-penulis yang tangguh. (P Bambang Wisudo)

Cerpen
MAU HIDUP ENAK, MAKANYA BERJUANG ...

Kabut hitam telah menyihir gumpalan-gumpalan awan putih bersih menjadi beberapa kumpulan awan yang berwarna hitam kelabu. Dinginnya udara pegunungan semakin menusuk-nusuk tulang. Dari jauh nampak sebuah pegunungan yang dipadati oleh pepohonan yang tinggi, tetapi tidak terlihat jelas karena selimut tebal kabut hitam. Sesekali angin datang untuk menyampaikan suara deburan ombak yang berasal dari laut Hindia.

Di balik selimut tebal kabut nampak samar-samar sebuah gubuk reot. Gubuk tersebut bertiangkan bambu yang sudah lapuk. Atapnya daun rumbia. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang sana-sini sudah mulai berlubang dimakan rayap. Lantai tempat mereka berpijak adalah sebuah lantai alami yang tak akan didapatkan pada zaman sekarang yaitu lantai tanah. Gubuk reot itu hanya dihuni oleh sepasang suami-istri, yaitu Ranta dan Ireng.

Nampak dari kegelapan dua orang pemikul singkong hendak menuju truk-truk dari kota memunggah singkong. Kedua pemikul singkong itu bernama Aden dan Melki. Mereka berdua sama-sama menggunakan celana hitam selutut dan bertopi capio. Sesampainya di pondok milik Ranta mereka berdua berhenti untuk istirahat dan minum sedikit air sebagai penghilang dahaga.

Aden : Rupanya mau hujan lagi ya ?
Melki : Iya, seandainya saja kita punya gerobak!
Aden : GEROBAK!!! Yang benar saja kau ini kalau bicara.
Melki : Dulu jalan ini kita yang buat, tapi apa sekarang, masa mau lewat jalan buatan sendiri saja mesti bayarpajak pada Onderneming, padahal ini kan jalan kita sendiri.
Aden : udah jangan kebanyakan omong, nanti keburu ujan lho,

Mereka berdua segera menghilang dari pondok Ranta. Tak berapa lama Ranta sampai dirumah turunlah hujan. Ranta yang sedang duduk di bale segera menurunkan kakinya ketika mendengar suara seorang perempuan yang sudah tak asing lagi baginya. Ireng, itulah istri Ranta,

Ireng : Sudah pulang pak? Tak ada hasil!
Ranta : Sapinya sudah dijualkan kepada orang, bagaimana dipasar tadi?
Ireng : Pasar kacau, diobrak abrik DI.
Ranta : Dia lagi.........

DI atau Darul islam adalah sekelompok manusia yang tak berkeprimanusian. Merekalah yang selalu meresahkan warga desa Banten Selatan. Pada saat mereka sedang asik berbincang-bincang tentang DI, datanglah juragan Musa. Seperti tahun-tahun sebelumnya, dia datang untuk menyuruh Ranta mencuri bibit karet milik ondermining, dengan upah uang seringgit. Jam sebelas malam Ranta pergi untuk melancarkan pekerjaanya. Setelah beberapa kali bolak-balik Ranta mengantar curian bibit karet untuk juragan Musa. Pada saat Ranta ingin meminta sisa upah atas pekerjaan yang dilakukannya itu, ia malah di pukuli dengan rotan dan mereka juga merampas pikulan dan golok milik Ranta. Pada saat Ranta kembali kerumahnya , Ranta di sambut oleh Ireng dan kedua pemikul singkong. Setelah keadaan Ranta sedikit membaik, mereka berbincang-bincang tentang kekejian juragan Musa. Beberapa hari kemudian setelah perbincangan itu, kedua pemikul singkong itu membawa teman 1 lagi yang bernama Isa untuk berunding bagaimana caranya untuk menghancurkan kekejian juragan Musa.

Tak begitu lama ketiga penjual singkong itu pergi datanglah juragan Musa dengan aktentas dan tongkat yang selalu dibawa kemanapun ia pergi. Seperti biasa ia datang untuk meyuruh Ranta mencuri bibit karet lagi. Awalnya tidak ada jawaban. Akhirnya Ranta muncul dengan geramnya menghadapi juragan Musa.
Perlawanan dari Ranta membuat juragan Musa lari tunggang kanggang sampai aktentas dan tongkatnya jatuh. Ia tersungkur diatas tanah. Ketiga pemikul singkong itu kembali dan mulai berdiskusi mau diapakan aktentas dan tongkat itu. Lama mereka berunding dan menghasilkan keputusan untuk memberikan aktentas tersebut sebagai barang bukti penangkapan juragan Musa. Ranta, Ireng, dan ketiga penmikul singkong, mereka pergi bersama-sama menghadap komandan.

Juragan Musa menyuruh anak buahnya untuk menghabisi Ranta dan mengambil aktentas dan tongkat yang tertinggal. Bila perlu bakar saja rumahnya. Tapi tindakan juragan musa terlambat karena Ranta dan yang lain sudah sampai di markas komandan. Komandan pun juga sudah menyusun rencana penangkapan Juragan Musa. (Watik)

Diolah dari:
Sekali Peristiwa di Banten Selatan
Pramoedya Ananta Toer

Berita

Kerusuhan ‘DI’ berakhir, Warga Arep Tangi pun bangkit

Kerusuhan yang terjadi di wilayah Banten Selatan kini sudah menemukan titik cerah. Upaya penangkapan dalang dari kerusuhan dan penindasan terhadap warga Kelurahan Arep Tangi akhirnya dapat berjalan dengan baik. Komandan dan gerombolan prajurit meringkus Juragan Musa (40 thn) pada Rabu (15/10) malam di kediamannya di desa Arep tangi, setelah terbukti terlibat sebagai dalang kerusuhan dengan bendera Darul Islam (DI) yang selama ini menikam rakyat.

Penangkapan terhadap Juragan Musa itu kemudian disusul dengan penangkapan anggota-anggota pemberontak yang tergabung dalam sindikat pemberontak Darul Islam. Penangkapan ini menjadi akhir dari pencarian aparat keamanan selama kurang lebih 8 tahun yang dahulu nyaris tanpa hasil. Terbongkarnya sindikat ini didasarkan dari informasi seorang warga setempat yang juga menjadi korban.

“Kami memang kesulitan menangkap pelaku kerusuhan ini karena tidak ada bukti yang jelas, tetapi akhirnya kami mendapat informasi dari seorang korban beserta bukti berkas-berkas terkait kerusuhan DI yang sudah lama melanda kelurahan ini. Bukti-bukti ini menjadi acuan kami untuk mengadakan penyelidikan dan akhirnya menangkap oknum kejahatan tersebut” ungkap Komandan.

Tidak berhenti sampai disitu, ternyata aparat pemerintahan desa seperti Lurahpun juga terbukti terlibat dalam sindikat kerusuhan DI. Karena keterlibatan itu, maka Komandan mengambil tindakan untuk menempatkan Lurah sementara dari warga setempat.

Akibat perbuatan mereka itu, tidak hanya bangunan desa seperti pasar, kebun, rumah warga yang porak-poranda setelah di obrak-abrik oleh sindikat DI. Mereka juga melakukan tindakan kriminal yang merugikan masyarakat, seperti aksi-aksi kekerasan. Warga dipaksa hidup dalam ketakutan, terselubung dalam kemiskinan dan tidak berdaya.

Warga desa Arep Tangi saat ini terlihat mulai bangkit. Mereka mulai bergotog-royong memperbaiki fasilitas-fasilitas desa seperti jalan, pasar , serta membuka lagi saluran air untuk kebutuhan irigasi sawah dan kebun yang selama ini dikuasai oleh juragan-juragan tertentu saja. Mereka bahu-membahu membuat waduk untuk pemeliharaan ikan dan membuka perladangan untuk menanam duren dan kelapa untuk kebutuhan bersama. Warga desa yang sebagian besar hanya mengenal pacul dan sawah inipun juga telah tergerak untuk memulai mengenal baca tulis untuk kebutuhan masa depan.

Saat diwawancarai mengenai pembangunan desa, Ranta (39 thn) selaku Lurah sementara menjawab,
“ Kami memang sudah mulai bertekad untuk memperjuangkan kehidupan yang sejahtera, melawan kemiskinan dan keterpurukan kami selama ini melalui gotong royong membangun desa, karena tanpa sumbangsih kita bersama, sekalipun nasib akan memberi kita umur tiga kali lipat dari semestinya keadaan akan tetap beku, karena segalanya mesti diperjuangkan”.
Itulah suara yang mewakili warga desa Arep Tangi sebagai wujud rasa syukur karena terlepas dari cengkeraman pemberontak. (Saneri)

Naskah Drama
ADEGAN 1
Suatu sore yang amat mendung. Sebuah gubug yang terletak di kaki gunung di desa Arep tangi tampak gelap dan sunyi. Hanya terdengar suara gemericik air kali dari kaki gunung dan suara burung. Tinggi gubuk yang dihuni ranta dan istrinya ini tidak lebih dari dua meter. Letaknya membelakangi sebuah bukit yang belum pernah digarap manusia. Pohon-pohon raksasa tumbuh dengan liarnya disertai semak-semak padat dibawahnya.
Ranta : (sambil mengetok pintu)
Reng, Ireng! Reng!!!
(Tidak terdengar jawaban, ranta akhirnya duduk di bale depan gubuknya. Dari kejauhan irengpun datang menghampiri ranta)
Ireng : Sudah pulang pak?
Ranta : Iya ( sambil terlihat mengeluh)
Ireng : Kenapa? Tidak ada hasil?
Ranta : Samasekali ga ada bu. O ya, gimana tadi dipasar?
Ireng : (tampak menahan lelah) Pasar kacau balau pak, diobrak-abrik DI.
Ranta :Ya ampun, gimana kita bisa pergi ke kota, nengok si Agil di rumah sakit, kalau kita tak punya apa-apa begini bu?
Ireng : (sambil mulai berkaca-kaca) Aku bingung pak. Aku ga mau kehilangan anak untuk ketiga kalinya. Tapi kalo kaya gini terus, si agil bisa ikut ga ada pak.
Ranta :Ya udah, Bu. nanti kita pikirkan lagi. Kita masuk dulu,ada yang ingin kubicarakan.
Ireng : (Ireng membukakan pintu dan masuk bersama Ranta)

(Di dalam rumah, sambil duduk di ambin dibawah cahaya damar atau lampu minyak, ranta menceritakan sesuatu kepada istrinya )

Ranta : Begini, Bu. Tadi aku ketemu Juragan Musa. Malam ini aku akan berangkat mengambil biji karet lagi sesuai dengan perintah juragan. Dia hanya memberiku ini. (sambil mengulurkan selembar uang)
Ireng : Seringgit?? Kalo aku laki-laki, sudah kutekuk batang lehernya. Kau yang selama ini baik dipaksa menjadi pencuri terus-menerus. Aku tak rela pak.
Ranta : (Sambil memegang tangan Ireng) Dengar Reng, aku memang sering nyolong tapi bukan karena kemauanku aku jadi maling. Ada waktunya, kita akan hidup baik dan senang. Sekarang in mereka yag tentuka hidup kita. Mereka!!
Ireng : Mereka siapa? Mereka siapa pak? (sambil memelas)
Ranta : Mereka yang datang pada kita hanya menyuruh kita menjadi maling. Mereka yang hidup memisah dari kita. Mereka, yang di dalam otanya cuma ada pikiran mau memangsa sesamanya. Mereka!!! (Sambil mengangkat tangan dengan telunjuk yang tak jelas arahnya)
Ireng : (Sambil menangis rintih) Cukup pak, Cukup..kumohon jangan pergi.
Ranta : ( Sambil berjalan menuju pintu) Doakan aku Reng, aku harus pergi sekarang.

(Ranta pun berjalan keluar dan menutup pintu, sementara Ireng tetap terduduk di atas ambin tak berdaya)

Tinjauan Buku

Sekali peristiwa di Banten Selatan
Pramoedya Ananta Toer

Sejak pertama saya sebenarnya berminat membaca buku ini. Tapi kurang mengerti dengan bahasanya. Lagian saya juga memang jarang baca buku-buku berat selain komik tentang kartun atau cerita lucu. Saya juga tidak pernah menulis resensi atau sejenisnya karena saya hanya belajar menulis di kelas bahasa Indonesia di sanggar. Kebetulan saya juga tidak sekolah formal.

Bbuku yang saya baca ini menceritakan tentang ada sebuah keluarga dengan kepala keluarga bernama Ranta dan istrinya Ireng. Dia keluarga yang miskin. Karena kemiskinan tersebut, Ranta dipaksa menjadi maling suruhan Juragan Musa.

Saat melakukan perintah Juragan Musa untuk mencuri bibit karet, bukannya mendapat upah, Ranta justru babak belur karena tertangkap oleh penjaga ladang karet juragan Musa. Juragan Musa sengaja menyuruh ranta menjadi pencuri supaya dia dapat mengeluarkan Ranta tanpa membayar gaji selama bekerja di ladang karetnya.

Kemudia di suatu hari setelah kejadian itu, juragan musa kembali mendatangi Ranta. Rantapun menunjukan rasa marah hingga membuat juragan musa pergi ketakutan. Saat dia lari, tas dan tongkatnya tertinggal didepan rumah Ranta. Dalam tas itu ada barang bukti bahwa juragan Musa selama ini bekerja sama dengan rombongan DI atau darul islam yang merusak kampung. Kemudian ranta menyerahkan tas tersebut kepada Komandan. Akhirnya juragan musa tertangkap dari bukti-bukti dalam tas milik jurangan.

Karena kejadian itu, Ranta diangkat jadi lurah. Kemudian warga bekerjasama membangun desa dan belajar baca tulis. (Sania)

Tinjauan Buku

Judul : Sekali Peristiwa di Banten Selatan
Pengarang : Pramoedia Ananata Toer
Penerbit : Lentera Dipantara

Saya memang tidak membaca keseluruhan. Saya hanya membaca penuh pada bab pertama dan terakhir. Bab-bab yang lain dibaca dengan loncat-loncat. Dengan itu saya berusaha menyimpulan cerita dalam buku ini.

Buku ini bercerita tentang peristiwa di sebuah kampung yang kaya akan sumber daya alam tapi masyarakatnya miskin. Mereka kesulitan untuk bekerja karena banyaknya kerusuhan-kerusuhan yang disebabkan oleh pemberontakan Darul Islan (DI). Kampung yang sebagian besar penduduknya hidup dari lahan pertanian ini selalu diselimuti rasa ketakutan dan tidak berdaya.

Salah seorang warga yang juga sering menjadi korban ketidakberdayaan ini ialah Ranta. Dia sering dipaksa menjadi maling bibit karet oleh juragan Musa yang sebenarnya terlibat juga dalam persekutuan DI.

Akibat kerusuhan itu, rumah-rumah penduduk dan pasar menjadi rusak. Hingga akhirnya kerusuhan ini berakhir karena tertangkapnya Juragan Musa sebagai otak persekutuan DI dengan bukti yang ditemukan Ranta pada tas Juragan musa yang tertinggal di depan rumahnya. Setelah itu, rantapun diangkat menjadi Lurah.

Nah, gimana prosesnya? Terus gimana nasib desa selanjutnya, baca aja buku ini. (Eta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar