Kamis, 11 Desember 2008

NYANYIAN ANAK-ANAK PINGGIRAN

Berharap ada bintang jatuh,
biar aku bisa minta sesuatu...


ANDAI benar ada bintang jatuh, mungkin anak-anak jalanan,
anak-anak pinggiran, yang menyaksikannya akan mengucapkan harapan,
"Tuhan, beri rezeki untukku hari ini. Tuhan, buka mata hati para
penguasa kota, para petugas tramtib, supaya tidak mengejar-ngejar
diriku mirip buronan dan menjebloskanku ke panti sosial."

Akan tetapi, harapan tinggallah harapan. Realitasnya, anak-anak
jalanan di negeri ini, dari waktu ke waktu, justru harus berbenturan
dengan aparat keamanan. Tindak kekerasan mereka rasakan. Tak cuma itu
penderitaan mereka. Di rumah, mau tak mau mereka turut mendengar dan
melihat berbagai kesulitan yang dihadapi orangtua mereka: tak punya
uang, tak ada beras, tak punya telur, minyak pun habis.

Berangkat dari pengalaman keseharian anak-anak jalanan inilah
operet Nyanyian Para Saksi digelar Sanggar Anak 'akar', 1-2 Oktober
2000 di Graha Bhakti Budaya-Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Operet yang disutradarai Ibe Karyanto dan penataan musiknya
dibantu Oppie Andaresta ini merupakan produksi kedelapan Sanggar
'akar'. Tujuh pementasan terdahulu, adalah Opera Bencana (Banjir),
Nyanyian Ranting Kering, Hari-hari Hidupku, Senandung Akar Rumput,
Opera Luka-lukaku, Opera Muka-muka di Kaca, dan Rahmat Membangun
Mimpi.
***
NYANYIAN Para Saksi bercerita tentang pengalaman hidup Nina (9),
bocah yang biasa mengamen di perempatan jalan. Nina hanyalah satu
dari sekian banyak bocah kecil yang menjadi saksi kerasnya hidup yang
membelit orangtua mereka. Ia menyaksikan bagaimana ayahnya digebuki
aparat dan harus masuk rumah sakit. Sementara di rumah, mereka tak
memiliki apa-apa untuk dimakan.

Seperti biasa, Nina mengamen di perempatan bersama kawan-
kawannya. Tak hanya Nina di jalanan. Ada pula anak-anak pedagang
asongan koran atau penjual rokok eceran.

Petualangan Nina sebagai bocah tidak hanya menjadi saksi, tetapi
juga sebagai bocah yang sehari-hari menghadapi ancaman. Di jalanan,
ketika sedang mengais rezeki, hampir setiap hari Nina dan bocah-bocah
lainnya berhadapan dengan kejahatan para preman. Bahkan, mereka juga
harus menghadapi ancaman para petugas.

Masih banyak cerita duka anak-anak yang termarjinalkan. Akibat
pertikaian politik, bocah-bocah kecil yang jelas tak ada sangkut-paut
dengan politik, entah di Maluku, di Aceh, di Pontianak, atau di Poso,
kini tak bisa sekolah. Mereka terkungkung di lokasi pengungsian,
menjadi "saksi-saksi kecil" kekerasan bersenjata.

Cerita dalam operet memang mirip dengan hidup mereka setiap
harinya. Di Jakarta, anak-anak jalanan, entah pengamen ecek-ecek di
perempatan, pedagang asongan, atau apa pun aktivitas mereka mencari
nafkah, selalu diancam garukan petugas tramtib.

Operet adalah representasi hidup mereka. Kenyataan yang terjadi
sering lebih pahit. Simak saja. Saking muaknya pada Operasi
Penertiban Penyandang Masalah Sosial yang dilancarkan Pemerintah
Daerah Tingkat I DKI Jaya, anak-anak jalanan dari berbagai lokasi
pada tanggal 25 September 2000 berdemonstrasi di Balaikota memprotes
Gubernur DKI Jaya, Sutiyoso. Namun, bukan tanggapan positif yang
mereka dapatkan. Justru tindakan represif dan pukulan/ bogem mentah
para hansip sebagai jawaban protes mereka.
***
SIAPAKAH anak-anak anggota Sanggar 'akar' ini? Mereka adalah
anak-anak dari keluarga perkotaan yang tidak mampu secara ekonomi.
Mereka berasal dari berbagai lokasi di Jakarta. Mereka yang bertempat
tinggal di Cakung, umumnya anak-anak petani sayur yang menanam sayur
di bantaran sungai. Anak-anak dari Bantar Gebang yang orangtuanya
berprofesi sebagai pemulung di tempat pembuangan sampah tersebut.
Anak-anak dari Penas lama, yang biasanya anak-anak penjual gorengan,
penjual ketoprak keliling, atau kuli bangunan.

Nina yang menjadi pemeran utama operet adalah murid kelas lima
SDN 12 Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur. Setiap hari usai
sekolah hingga pukul 15.00, Nina mengamen di perempatan lampu merah
Kebon Nanas, Jakarta Timur. Kata Nina, bapaknya tidak bekerja.

Ditanya berapa penghasilannya setiap hari, ia menjawab, "Tiga
ribu perak. Yang dua ribu buat Emak, yang seribu buat jajan."

Sanggar 'akar' yang didirikan 22 November 1994 adalah media
pendidikan kreatif yang dibangun bersama oleh Biro Advokasi
Anak-Institut Sosial Jakarta dan anak-anak pinggiran. Kesulitan untuk
mencari tempat belajar dan bermain yang nyaman adalah salah satu
alasan yang mendesak dibanggunnya sanggar.

Bentuk sanggar sengaja dipilih untuk memfasilitasi terciptanya
proses "belajar sambil berkarya" dan membuka peluang sebanyak mungkin
kegiatan kreatif yang mampu mendukung pengembangan potensi anak. Di
samping kegiatan membaca di perpustakaan, mereka membuat kerajinan
(daur ulang, sablon), bermain musik, membuat tabloid, juga
mengembangkan kegiatan dinamika kelompok belajar dan teater.

Sebagian besar anggota Sanggar 'akar' adalah pengamen. Yang
masih kecil-kecil mengamen di traffic light, yang sudah besar
biasanya mengamen di dalam bus kota.

"Kami punya acara pertemuan setiap hari Minggu. Sekali pertemuan
biasanya terkumpul 90-100 anak. Selama tiga jam mereka belajar
sosiodrama, latihan public speaking, mengkritik teman, dan bercerita
lisan. Setelah latihan, mereka bebas main. Yang mau main musik, ya,
main musik diajari temannya yang sudah bisa," kata Ibe Karyanto,
pendamping anak-anak Sanggar 'akar'.

Kalau sudah memegang gitar, mereka akan menyanyikan serangkaian
tembang yang lirik-liriknya mengharukan. Seperti Oppie Andaresta yang
menyanyikan lagunya: //Pada saat terik lapar letih/mengais rezeki di
ladang sampah/badanku yang sekecil ini pasti tak mampu menjangkau
harga/semakin hari semakin menggila//Belum lagi datang preman/yang
selalu mengompas hasil keringatku/ badanku yang sekecil ini tak mampu
pertahankan semua hakku/semakin hari hidup semakin enggak
aman/berharap ada bintang jatuh/biar aku bisa minta sesuatu...

(Elok Dyah Messwati)

1 komentar: