Kamis, 11 Desember 2008

GILIRAN MEMBANGUN ANAK PINGGIRAN

KOMPAS, Kamis, 22-07-2004.



GILIRAN MEMBANGUN ANAK PINGGIRAN
HANYA berbekal pendidikan formal kelas VI SD, Pray (20) "minggat"
dari rumahnya di Semarang delapan tahun lalu, bersama lima temannya.
Turun di Stasiun Senen, dia berkelana sebagai pengamen jalanan di
Jakarta.
"Tahu besok pagi masih hidup dan bisa makan saja sudah syukur,"
begitu kenangnya.
Pernah pula Pray menjadi calo taksi di Stasiun Jatinegara sejak
dini hari. Hidup di jalan memang tidak bisa pilih cerita. Berita
salah satu teman masuk bui atau meninggal dalam sebuah perkelahian
adalah biasa. Melihat teman-temannya bertato, dia ikut menato
lengannya. Sampai kemudian berganti nama yang aslinya Supriyono
menjadi Pray De Feri seperti banyak anak jalanan lain.
Sampai sekarang tato vignet itu masih tertanam di bawah kulitnya.
Begitu pula nama barunya. Tetapi, kehidupan dan semangat Pray jauh
berubah.
Pada usia 20 tahun, ia sekarang mampu berdiri di muka puluhan
anak di komunitas pinggiran tol Cakung. Ia mengajar mereka berhitung,
membaca, dan terutama berbicara mengungkapkan pendapat.
"Awalnya, sulit juga mendekati masyarakat di sana. Dengan lengan
penuh tato dan pakaian apa adanya, orangtua ragu anak-anaknya saya
ajar. Tetapi, dengan pendekatan, penerimaannya semakin baik," kata
penggemar karya-karya Pramoedya Ananta Toer itu.
Heru Yuli Pambadi (20) lain lagi. Sejarah Heru di sekolah formal
hanya sampai sekolah lanjutan tingkat pertama. Ia sempat belajar satu
tahun di sekolah tinggi mesin dan satu tahun di sekolah menengah
umum. Karena biaya sekolah memberatkan, dia pun keluar dan luntang-
lantung di jalan.
Kini Heru tidak pernah menyangka dirinya mampu mengajar belasan
anak pinggiran tentang grafis komputer sekaligus mengelola penerbitan
komunitas mereka dengan nama Tabloid Niat. Berbagai tulisan kritisnya
tentang pendidikan termuat di sana.
"Sulit sekali mengajar mereka karena memegang atau melihat
komputer saja belum pernah. Tapi, saya suka," katanya.
Doge (21) yang pernah lekat dengan obat terlarang dan menganut
hukum rimba jalanan "siapa kuat dia menang" tak kalah ikut mengajar.
Dengan rambut gondrong, pakaian slebor, dan anting berjejer, dia
membagikan kemampuannya memainkan biola dan cetak sablon di daerah
Inpeksi Saluran Jatiluhur.

***

PRAY dan rekan-rekannya bagian dari perjalanan Sanggar Akar yang
November nanti berusia 10 tahun. Selama itu, sanggar memberikan
pendidikan alternatif dan pilihan bagi anak-anak pinggiran.
Kemampuan Heru menulis, kepandaian Doge memainkan biola dan alat
sablon, serta semangat Pray mengajar anak-anak berhitung dan membaca
merupakan hasil mereka berproses di Sanggar Akar.
Di situlah anak jalanan, penghuni bantar kali, pengasong, dan
pemulung berinteraksi dengan nyaman dan aman. Yang tak kalah penting
adalah memperoleh hak mereka untuk memilih melalui berbagai kegiatan,
seperti teater, musik, menggambar, mendatangkan pembicara, dan
berdiskusi.
"Rohnya adalah menjadi manusia seutuhnya dan memberikan
kesempatan memilih yang selama ini direnggut dari mereka. Belajar
adalah kehendak. Bukan sekadar pilihan mau apa, tetapi memikirkan
modal apa yang dibutuhkan. Berusaha memperoleh keterampilan. Bukan
keterampilan tangan, melainkan berorganisasi, manajemen, dan
pengambilan keputusan," kata Penanggung Jawab Sanggar Akar Ibe
Karyanto.
Para murid kemudian ditugasi mengembangkan sanggar dan basis-
basis pinggirannya di Jakarta, seperti anak-anak di kawasan pemulung
Bantar Gebang, komunitas pinggiran tol Cakung, dan Penas.
Pray yang sudah delapan tahun ikut Sanggar Akar, misalnya,
berkeinginan membagi pengalamannya kepada rekan-rekannya yang lebih
muda. "Saya ingin mereka punya pilihan juga," katanya.
Hal senada diungkapkan Doge, meskipun baru tiga tahun ini
bergabung, "Saya mau teman-teman maju. Dulu saya pun tidak bisa apa-
apa."
Bagi Ibe sendiri, pendidikan alternatif tidak seperti pendidikan
formal yang setiap jenjangnya dianggap sebagai terminal perhentian.
Sebab, hidup itu sendiri juga merupakan materi untuk belajar.
Saat Pray, Heru, atau Doge ganti berdiri mengulurkan tangan,
itulah waktu mereka belajar membangun dan memberdayakan komunitasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar