Kamis, 11 Desember 2008

MENGENAL PENDIDIKAN ANAK PINGGIRAN

Dunia Anak - Liputan Khusus

KOMPAS, Selasa, 24-07-2001.

KEPERCAYAAN Heru Yuli Pambudi (17) pada sistem di sekolah formal
sudah lama pupus. "Sistem itu membuat kotak-kotak dan jenjang
kemampuan, dan memenjarakan kita ke dalam cara berpikir yang sudah
ditentukan." Heru melanjutkan, "Pendidikan formal yang pernah saya
ikuti tidak pernah memenuhi apa yang diingini seorang anak. Guru di
kelas lebih banyak menjejalkan apa yang sudah dipaketkan daripada
mengajak kita bicara dan memahami bagaimana situasi murid."

Lebih jauh lagi, "Kita tidak bisa mendebat pendapat guru, karena
beradu argumentasi selalu diartikan melawan. Di kelas, guru selalu
benar," ujar Heru. Tak cuma itu. "Dunia pendidikan formal di kelas
tidak mengajar anak memahami satu sama lain, sehingga kita menjadi
asing satu sama lain. Tidak ada model solidaritas di sini, dan sulit
untuk membentuk solidaritas karena sudah ada kotak-kotak itu," tegas
anak pertama dari empat bersaudara itu.

Heru menyebut bentuk-bentuk diskriminasi sudah tampak dari
pengistilahan yang dibuat entah oleh siapa, seperti "sekolah
unggulan". Menurut Heru, "Kalau ada sekolah unggulan, pasti ada
sekolah buangan. Sekolah unggulan juga pasti mengacu pada semua yang
serba unggul, ya kecerdasan, ya ekonomi orangtua. Lalu yang buangan
ya sekolah yang isinya anak-anak seperti kami ini, anak-anak miskin
yang bayar sekolah saja susah."

Apa yang dikemukakan Heru tidak bisa dilihat sebagai sikap
antipati terhadap dunia pendidikan formal. Heru adalah satu dari
jutaan anak yang terlempar dari dunia pendidikan formal karena
situasi sosial ekonomi yang dihadapi orangtuanya, yang kemudian
mengimbas pada perkembangan pemikiran dan sikapnya.

Jalanan yang menjadi tempatnya bertumbuh selama dua tahun
mengajarinya hal lain yang digelutinya selama di ruang kelas di
bangku sekolah formal. Upaya mempertahankan hidup tidak terjawab oleh
apa yang ia dapatkan di ruang kelas. Di antara derum mobil,
kebisingan, caci maki, rasa curiga, dan kebencian, ia menyimpan
segudang pertanyaan kritis mengenai apa dan siapa dirinya; mengapa
dan bagaimana ia sampai pada kehidupan seperti itu.

***
"SAYA beruntung menemukan komunitas teman senasib di sanggar,"
lanjutnya. Saat ini Heru adalah Koordinator Sanggar Akar, suatu media
di tingat komunitas basis.

Sanggar Akar yang berdiri enam tahun lalu sebagai bagian dari
basis komunitas Biro Advokasi Anak Institut Sosial Jakarta, saat ini
berdiri sendiri dan mengembangkan model pendidikan alternatif untuk
komunitas anak pinggiran; suatu model yang samasekali lain dari apa
yang selama ini mendominasi wacana berpikir mengenai pendidikan.

Istilah "anak pinggiran" belum banyak dipahami karena orang
terbiasa mendengar atau menggunakan istilah atau kategori yang
bersifat fungsional seperti "anak jalanan", "pekerja anak" atau "anak
telantar" untuk menyebut kelompok anak-anak yang hidup dalam kondisi
lingkungan yang kurang wajar.

Padahal, seperti dikemukakan penanggung jawab Sanggar Akar, Ibe
Karyanto, substansi atau akar persoalan tidak tercakup dalam kategori
yang bersifat fungsional itu. Kata pinggiran, menunjuk pada kondisi
akibat dari pola kebijakan pemerintah dan tatanan masyarakat yang
tidak adil itu. Pinggiran juga mengacu pada proses pembangunan yang
menjauhkan anak dari hak-hak dasarnya yang mencakup hak kelangsungan
hidup, hak untuk berkembang, hak untuk memperoleh perlindungan dan
hak untuk berpartisipasi.

Dengan demikian, dalam istilah "anak pinggiran" dikandung maksud
yang lebih substantif menyangkut ketidakadilan yang dilakukan
pemerintah dan masyarakat umum, yakni ketidakadilan struktural,
kultural dan tindakan represi fisik.

Selama bertahun-tahun dominasi dibangun dari kerangka berpikir
penguasa yang cenderung mengambil jarak dengan persoalan dalam
masyarakat. Ibe menegaskan, kekuasaan pula yang menanamkan pemahaman
bahwa kondisi buruk yang ditanggung anak-anak pinggiran merupakan
keniscayaan, yang tidak terkait dengan kebijakan di tingkat makro
yang diputuskan segelintir elite politik, teknokrat, dan birokrat.

"Ini diperlihatkan dengan jelas oleh Pak X," Ibe menyebut seorang
pejabat kantor Menko Kesra (pada masa Orde Baru), "Dalam Konferensi
Regional Pertama tentang Anak Jalanan di Filipina tahun 1989 Pak X
mengatakan bahwa perilaku dan keberadaan anak-anak jalanan merupakan
penyimpangan sosial atau social disfunction."

Penggunaan kata "penyimpangan" itu secara jelas menunjukkan sikap
diskriminatif. "Pemerintah tidak melihat bagaimana dan mengapa
anak-anak sampai berada di jalanan, tetapi dari posisi norma tata
sosial ideal yang diberlakukan dan diterima oleh keluarga yang mapan
dan berkecukupan," sambung Ibe.

Cara pandang seperti ini tidak berubah, sekali pun Indonesia
telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990. Bahkan RUU
Perlindungan Anak pun masih menggunakan istilah "anak bermasalah".

***
HERU, menurut Ibe, bergabung dengan komunitas Sanggar Akar
sekitar tiga tahun yang lalu, saat masih bekerja di jalanan. "Ia
sebenarnya sempat melanjutkan ke STM, dua kali pindah, tetapi
semuanya tidak bertahan lama," papar Ibe. "Ia memutuskan sendiri
untuk tidak sekolah karena merasa ada sesuatu yang lebih bisa ia
kembangkan di luar sekolah."

"Saya bilang kalau maunya begitu, ia harus tahu bahwa ia tidak
akan bisa bekerja di perusahaan atau di kantor karena lembaga-lembaga
itu membutuhkan ijazah dari sekolah formal," lanjut Ibe, "Saya juga
bilang, 'kamu harus bisa menjadi orang yang lebih dari para pencari
kerja itu. Kamu harus mampu menciptakan peluang bagi orang lain agar
mereka bisa bekerja'," Ibe menirukan pertimbangan yang ia ajukan
kepada Heru agar anak itu tahu tujuannya kemudian. Heru adalah
contoh paling tepat dari apa yang disinyalir oleh Laporan Unicef
(Dana PBB untuk Anak) tahun 1995. Dalam laporan itu disebutkan, tiga
faktor utama yang mendorong anak-anak meninggalkan bangku sekolah dan
bekerja pada usia yang dini adalah kemiskinan, pendidikan yang tidak
relevan, dan tradisi.

Kemiskinan dalam arti luas-tidak hanya ekonomi-mendorong anak
meninggalkan rumah dan memasuki lingkungan kegiatan yang
membahayakan. Jumlah anak yang dieksploitasi terus meningkat 15 tahun
terakhir seiring perkembangan kebijakan ekonomi dan moneter
internasional akibat utang, korupsi, dan krisis moneter di banyak
negara berkembang.

Program Penyesuaian Struktural (SAP), persyaratan "bantuan" Dana
Moneter Internasional (IMF), yang katanya akan "menyembuhkan" ekonomi
yang sakit di negara berkembang berarti pemotongan alokasi belanja
untuk kesejahteraan sosial yang dibutuhkan kaum miskin.

Pemotongan dana untuk kesejahteraan sosial ini juga merupakan
pukulan yang berat terhadap pendidikan, yang diyakini merupakan
alternatif mengatasi persoalan anak-anak yang bekerja di wilayah yang
membahayakan perkembangan fisik dan jiwanya. Di negara-negara yang
mengalami kesulitan ekonomi 10 tahun terakhir, dana pendidikan,
khususnya pendidikan dasar, menurun drastis, sampai 30 persen.

Sementara itu, sistem pendidikan pada banyak negara berkembang
terlalu kaku dan tidak memberikan inspirasi. Kurikulumnya tidak
relevan dan jauh dari realitas sosial kehidupan anak.

Selain itu, tradisi dan pola sosial yang berurat akar juga
memainkan peranan dalam mendorong anak masuk ke lingkungan kerja yang
membahayakan. Lingkungan yang keras telanjur diyakini sebagai bagian
dari kehidupan kaum miskin, kelas rendah dan minoritas.
***

"PERCAYA enggak kalau 'niat' ini boleh dikatakan karya dari
Sandy yang hanya lulus SD," ujar Heru memperlihatkan tabloid 12
halaman yang rubrik-rubriknya dinamai dengan kreatif.

"Sandy sendiri yang mengumpulkan bahan, ikut mengedit, membuat
lay out dan membawanya ke percetakan. Saya yakin anak lulus SMP pun
belum tentu bisa melakukan ini," lanjut Heru, "Model pendidikan di
sini membuat anak bisa mengeksplorasi apa yang ia miliki."

Beberapa dari 20-an anak yang saat ini aktif di Sanggar Akar,
sampai empat tahun lalu masih bisa dijumpai di jalanan. Gendut, yang
sekarang bertanggung jawab pada salah satu bidang kerja di sanggar,
sejak usia sembilan tahun berada di jalanan. Ia berasal dari Tegal.
Lalu ada Joni dari Medan, Prei dari Semarang, Openg dari Palembang,
dan Pian dari Jakarta. Selama bertahun-tahun anak-anak itu
menggelandang dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu kota ke
kota lain, mereguk kebebasan sekaligus bahaya kehidupan jalanan.
Usia mereka sebaya. Selain anak-anak ini, juga banyak anak-anak yang
berada di jalanan, tetapi masih pulang ke rumah orangtuanya.

Latar belakang yang berlainan yang mempengaruhi gaya hidup ini
membuat komunitas anak pinggiran itu, meski pun berada pada satu
strata yang sama, namun Ibe dan kawan-kawannya mengamati, dalam skala
kecil selalu terjadi kompetisi; yang satu merasa lebih dibandingkan
yang lainnya. Perseteruan ini membuat jebakan pada arus pemikiran
yang mengkotak-kotakkan dan merupakan gejala permukaan dari model
sistem fragmentasi masyarakat.

"Kami kemudian berupaya menyatukan kelompok anak-anak itu," jelas
Ibe. "Tujuannya bukan untuk menyeragamkan mereka, tetapi mengajak
anak-anak secara bersama-sama belajar untuk mengerti substansi
persoalan yang dihadapi, yakni proses dehumanisasi."

Visi gerakan pendidikan ini berangkat dari refleksi atas
pengalaman aktual keterlibatan, compassion pada ketidakadilan yang
dihadapi, sekaligus harapan yang ingin dibangun sebagai dimensi masa
depan. "Kenyataan penderitaan anak-anak ini mengundang compassion,
keterlibatan mereka memberikan pengalaman, pengalaman melahirkan
kesadaran baru yang membangkitkan harapan pembebasan, cita-cita dunia
yang lebih baik," papar Ibe.

Mengutip Paulo Freire, tokoh pendidik dari Brasil, Ibe menyakini
bahwa proses lahirnya kesadaran akan pembebasan hanya mungkin
terwujud kalau refleksi sungguh-sungguh diposisikan sejajar dengan
seluruh aktivitas dalam gerakan keterlibatan.

Dengan demikian, misi keterlibatan merupakan sesuatu yang
menunjukkan tindakan atau proses. "Dalam konteks ini, Sanggar
menempatkan misi sebagai tindakan untuk membuka ruang dan memberikan
peluang bagi anak-anak untuk menjadi bagian dari kelompok masyarakat
yang terlibat dalam proses pembebasan, yaitu membangun sebuah dunia
yang lebih baik," ujarnya.

Karena itu, dalam kampanye perlindungan hak anak, terutama pada
gerakan pendidikan untuk anak pinggiran, tidak mengiba, atau
mengharapkan belas kasihan dengan mengedepankan penderitaan anak-
anak, tetapi lebih diarahkan pada model publikasi hasil dari tahapan
sebuah proses yang sedang berjalan.

***
DI Sanggar ini, jangan heran kalau anak-anak seusia 10-12 tahun
telah mampu berpikir kritis. Atin, kelas VI SD dan adiknya Nina,
kelas V, bisa membuat perbandingan antara film Heaven (Iran), Not One
Less (Cina), dan Petualangan Sherina (Indonesia).

Ini baru salah satunya. Seluruh materi seperti sejarah,
matematika, bahasa, lingkungan hidup yang disusun bersama sahabat
Sanggar Akar, seperti Hilman Faried, John Roosa, Razif dari Jaringan
Kerja Budaya, memang diarahkan untuk mencapai tujuan yang lebih luas,
seperti tanggung jawab pribadi, usaha mandiri, dan kreatif; tanggung
jawab sosial menyangkut kepekaan sosial, serta sumbangan pada
pengembangan masyarakat; dan tanggung jawab pada alam.

Seluruh mata pelajaran juga ditujukan untuk mengasah kekritisan
anak; termasuk dalam membaca buku pelajaran. Di antara para relawan
pengajar terdapat pematung terkemuka, Dolorosa Sinaga.

Prinsip hubungan guru-murid adalah keterbukaan dan kesetaraan,
karena gerakan pendidikan ini menolak prinsip anak sebagai tabula
rasa yang diperkenalkan oleh John Locke. Selama belajar, anak tetap
merupakan individu bebas, tetapi bukan tanpa disiplin. Di dalam
kelas, yang berlaku bukan disiplin yang kaku, tetapi semacam
tutorial. Orientasinya bukan ketaatan, tetapi pada komitmen. Disiplin
seperti ini diyakini akan mendorong motivasi dan kesadaran belajar.
Tak hanya diterapkan pada anak, tetapi juga guru.

"Dalam gerakan ini pendidikan merupakan sebuah proses. Anak-anak
dan kami akan terus berproses, berkembang dan kami berharap gerakan
ini akan menjadi milik publik," ujar Ibe. (mh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar