Kamis, 11 Desember 2008

Pendidikan untuk Yang Miskin



MENJEMBATANI SEKOLAH ALTERNATIF DENGAN FORMAL
Oleh P Bambang Wisudo

KOMPAS, Kamis, 15-09-2005.


Kokon Koswara (23), mahasiswa Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (STKIP) Garut, Jawa Barat, dalam beberapa bulan terakhir
lebih sering mengisi masa akhir pekannya dengan naik turun gunung.
Kegiatan itu harus dijalaninya sejak ia bersama sejumlah kawannya
membantu warga kampung Dano menyelenggarakan sekolah alternatif Bale
Rahayat.

Jarak delapan kilometer dari ibu kota Kecamatan Leles dengan
kampung Dano ditempuh sepeda motor. Karena keuangan terbatas, Kokon
dan kawan-kawannya tidak memilih menggunakan jasa ojek. Ongkos ojek
ke kampung itu Rp 15.000 sekali jalan. Untuk menekan biaya, Kokon
memilih menyewa motor dengan ongkos Rp 20.000 sehari. Biasanya motor
itu ditumpangi bertiga, tidak peduli jalan terjal bebatuan yang harus
dihadapinya.

"Karena masalah ongkos kami tidak bisa intensif mendampingi
masyarakat Dano," tutur Kokon.

Aktivitas Kokon dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Jaringan
Pendidikan Kritis Garut itu didasari keprihatinan atas minimnya akses
pendidikan anak-anak petani di wilayah itu. Dari delapan ribu
penduduk di dusun itu, hanya segelintir saja yang tamat SD dan SMP.
Selepas kelas dua, empat SD negeri di sekitar dusun itu kehilangan
murid.

Sebagian besar putus di tengah jalan dalam keadaan tidak bisa
membaca dan menulis. Anak laki-laki di bawah umur yang belum bisa
baca tulis itu sebagian besar di bawa ke kota dipekerjakan, menjadi
pembantu buruh konveksi tas kulit, dengan upah yang sangat rendah.

Baru beberapa bulan berjalan, kini Bale Rahayat harus menampung
sekitar 150 murid. Dengan fasilitas seadanya, mereka belajar di
emperan masjid dusun, rutin diajar oleh tiga tokoh masyarakat yang
menjadi sukarelawan. Sejauh ini tidak ada sedikit pun dukungan dari
pemerintah lokal. Andaikata mereka juga berhak atas dana kompensasi
BBM sebesar rata-rata Rp 20.000 per bulan, hampir bisa dijamin anak-
anak itu lebih pintar dibandingkan anak-anak yang memilih bersekolah
di sekolah formal.

Korban diskriminasi
Anak-anak dari masyarakat kalangan bawah yang terempas dari jalur
pendidikan formal memang menjadi korban diskriminasi kebijakan
pendidikan nasional. Orang-orang miskin yang seharusnya dibela,
justru dimarginalkan dalam proses pendidikan. Jangankan mereka yang
memilih jalur sekolah alternatif. Anak-anak putus sekolah yang
ditampung di PKBM yang disokong pemerintah pun diberi anggaran sisa.
Upah gurunya hanya Rp 150.000 per bulan. Di lapangan honor sebesar
itu dibagi lagi untuk beberapa tutor.

Direktur Pendidikan Masyarakat Departemen Pendidikan Nasional Eko
Djatmiko Sukarso menceritakan, ia pernah menjumpai tutor yang diberi
honorarium Rp 20.000 per bulan.

Di Jakarta, seorang siswa SD dari kelompok masyarakat miskin,
mendapatkan subsidi dari pemerintah daerah dan pusat sebesar Rp
40.000 per anak. Bahkan subsidi dari Pemda DKI bagi siswa SD tahun
depan diusulkan naik dua kali lipat menjadi Rp 500.000 per bulan.

Untuk anak-anak putus sekolah, Pemda DKI menyelenggarakan program
retrieval dengan anggaran Rp 1 juta per anak per tahun. Dana itu
tentu menjadi sebuah kemewahan bagi anak-anak dari masyarakat bawah
yang bergabung di sanggar-sanggar pendidikan alternatif, seperti
Sanggar Akar, Sanggar Ciliwung, atau Sanggar Anak Alam di Lebakbulus.

Kenyataannya dana itu dibekap oleh sekolah-sekolah formal yang
ketat dikendalikan oleh pemerintah. Hasilnya adalah anak-anak miskin
tetap saja tidak bisa bersekolah.

Anggaran dan substansi
Kesenjangan antara sekolah alternatif dengan sekolah formal tidak
hanya persoalan anggaran tetapi juga substansi pendidikan yang
ditawarkan. Sekolah-sekolah alternatif yang berkembang dalam semangat
Paulo Freirean, yang mengintegrasikan semangat perlawanan terhadap
sistem yang memiskinkan dalam pendidikan.

Sejumlah aktivitas pendidikan alternatif memiliki keyakinan bahwa
tujuan akhir pendidikan alternatif bukan sekadar mengeluarkan anak
dari kemiskinan yang membelenggu lingkungan dan keluarga mereka.
Apalagi bila itu sekadar diartikan memberikan keterampilan agar
mereka bisa berintegrasi dalam sistem yang kapitalistik.

Semangat perlawanan itu dapat dibaca dari kemunculan sekolah-
sekolah alternatif di berbagai daerah. Sebutlah Madrasah Aliyah
Bingkat di Sumatera Utara, Sekolah Anak Rima "Sokola" di Jambi,
Sanggar Akar dan Sanggar Ciliwung di Jakarta.Madrasah Tsanawiyah As
Sururon dan Bale Rahayat di Garut, SMP Qaryah Thayibbah di Salatiga,
Sanggar Anak Alam dan SD Mangunan di Yogyakarta, dan masih banyak
lagi.

Ada dua model besar penyelenggaraan sekolah alternatif itu. Ada
yang berkompromi dengan sistem pendidikan formal tetapi ada yang
tidak mau berkompromi. Model pertama biasanya mengambil bentuk
sekolah formal meski dengan sejumlah penyiasatan, menganggap penting
nilai ijazah, dan mengukur mutu berdasarkan standar nilai rata-rata.

Pengamat pendidikan Dr Mochtar Buchori memberikan ilustrasi kedua
model itu dengan membandingkan antara pendidikan alternatif Sanggar
Akar dan SMP Alternatif Qaryah Thayibbah. Menurut Mochtar, Sanggar
Akar lebih merupakan perjuangan sosio-kultural, yang dipentingkan
adalah bagaimana anak menemukan arti dalam kehidupannya. Karena itu
soal ujian dan ijazah dianggap remeh. Sedangkan sekolah model Qaryah
Thayibbah lebih dilatarbelakangi perjuangan sosial-ekonomis,
bagaimana memberikan pendidikan yang baik untuk anak-anak petani di
desa.

Dalam model pendidikan pertama, anak-anak bisa menjadi kekuatan
subversif dalam masyarakat tertentu. "Tergantung tujuannya, apakah
pendidikan mau menormalkan atau mau melawan. Memberikan kemampuan
belajar menjadi penting untuk memberikan kesempatan anak-anak
marginal menumbuhkan jiwa kewiraswastaannya," kata Mochtar.

Koordinator Sanggar Akar Ibe Karyanto mengatakan bahwa pendidikan
alternatif untuk kaum miskin memang merupakan kritik radikal terhadap
pendidikan formal. Paradigma yang dianut adalah paradigma pembebasan.
Karena itu harus ada penyadaran kritis pada diri anak bahwa
kemiskinan yang mereka alami bukan merupakan kenyataan yang terjadi
begitu saja tetapi merupakan akibat dari proses pemiskinan.

"Bukan mengajak anak membangun konfrontasi tetapi justru
mengajak anak secara visioner melihat sistem apa yang harus
dibangun," kata Ibe.

Dalam semangat perlawanan itu mungkinkah pendidikan alternatif
berkolaborasi dengan pemerintah? Mengapa tidak? Menurut Eko Djatmiko,
tidak ada masalah sekolah alternatif bekerja sama dengan pemerintah
meskipun mereka mengembangkan semangat perlawanan. Demi pencerdasan
bangsa, perbedaan-perbedaan antara formal dan nonformal, antara
masyarakat dan negara, mesti disinergikan.

Semangat perlawanan, kata Lodi Paat, Pengajar Pengantar Ilmu
Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta, yang selama ini terjadi
juga bukan monopoli pendidikan nonformal atau sekolah alternatif.

"Perlawanan seharusnya tidak hanya dilakukan sekolah-sekolah
alternatif tetapi juga sekolah-sekolah formal. Dalam situasi
sekarang, tanpa perlawanan, kita akan dirampok habis-habisan," kata
Lodi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar