Kamis, 11 Desember 2008

PERLU REFORMASI RADIKAL

Pendidikan Kesetaraan Malah Mengadopsi Pendidikan Formal

KOMPAS, Jumat, 21-07-2006.
Jakarta, Kompas
Reformasi pendidikan kesetaraan Paket A, B, dan C ternyata tidak
sesuai yang dijanjikan karena cenderung memindahkan sistem
persekolahan dalam pendidikan nonformal.

Berbagai kalangan mendesak pemerintah melakukan reformasi
pendidikan kesetaraan Paket A, B, dan C secara radikal agar dapat
mengakomodasi keinginan masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan
sesuai kebutuhan komunitas. Desakan itu muncul dalam
diskusi "Pendidikan Kesetaraan: Peluang atau Ancaman bagi Sekolah
Alternatif" yang diselenggarakan Sanggar Anak Akar di Jakarta, Kamis
(20/7).

Dari pengakuan sejumlah penyelenggara sekolah alternatif maupun
mereka yang pernah mengikuti ujian kesetaraan, terungkap bahwa
eligibilitas yang dijanjikan pemerintah juga tidak terwujud di
lapangan. Beberapa sekolah negeri di Jakarta menolak menerima siswa
yang berijazah kesetaraan. Bahkan, untuk mengikuti ujian kesetaraan
masyarakat harus mengeluarkanuang ratusan ribu rupiah meski telah
dinyatakan gratis.

Staf Direktorat Kesetaraan Depdiknas, Elih Sudiya Permana,
mengungkapkan pihaknya juga memperoleh sejumlah pengaduan praktik
pungutan terhadap peserta ujian kesetaraan. Praktik pungutan untuk
kelulusan ujian kesetaraan juga dibenarkan Andri Cahyadi, pendamping
anak jalanan di Jakarta

Menurut Koordinator Sanggar Akar Ibe Karyanto, pengaturan program
kesetaraan saat ini makin blunder dengan diikutinya ketentuan-
ketentuan pendidikan formal dalam program kesetaraan. Dalam jam
belajar pun ada kecenderungan pemerintah mau mengatur lebih ketat.
Untuk Paket C (setara SMA), ditetapkan lama belajar 969 jam dalam 180
hari per tahun, dengan 30 satuan kredit semester.

Pemerintah, kata Ibe, harus melakukan reformasi radikal terhadap
program kesetaraan, sehingga program kesetaraan memiliki otonomi
dalam menyelenggarakan pendidikannya dan tidak menjadi miniatur
pendidikan formal.

"Mestinya pendidikan kesetaraan mengakomodasi beragam jenis
pendidikan komunitas yang berkembang di masyarakat. Pemerintah cukup
memfasilitasi kreativitas dalam masyarakat," tutur Ibe.

Lebih kaku
Koordinator Keluarga Peduli Pendidikan (KerLip) Yanti Sriyulianti
menyatakan keheranannya mengapa pengaturan program pendidikan
kesetaraan Paket A, B, dan C sekarang justru lebih kaku dibandingkan
pendidikan formal. Mengambil contoh SD Hikmah Teladan Cimahi,
Bandung, Yanti mengatakan bahwa sekolah formal pun bisa menetapkan
kurikulum dan menentukan buku-buku ajarnya sendiri dan bahkan bisa
mendapatkan akreditasi sangat baik.

"Pendidikan kesetaraan mestinya tidak menduplikasi pendidikan
formal, termasuk dalam sistem evaluasinya," kata Yanti.

Bagi Retno Listyarti, guru SMA Negeri 13 Jakarta Utara,
pendidikan nonformal jelas tidak sama dengan pendidikan formal.
Karena itu, indikator untuk mengukur keberhasilan anak didiknya
sangat berbeda dan tidak mungkin disamakan.

Pendidikan kesetaraan, kata Retno, tidak cocok diuji dengan model
pilihan ganda. Dengan standar kelulusannya yang rendah, tak usah
belajar pun peserta ujian kesetaraan bisa lulus. Evaluasi program
kesetaraan mestinya diukur dari aspek kecakapan hidup, bukan semata-
mata penguasaan keterampilan, apalagi penguasaan akademik.

Suryanto dari Sanggar Ciliwung mengemukakan, pemerintah mestinya
memberikan pengakuan pada pendidikan alternatif yang diselenggarakan
masyarakat. Apalagi kenyataannya tidak ada nilai kurang bagi mereka
yang mengikuti ujian kesetaraan asalkan bisa membayar.(wis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar