Kamis, 11 Desember 2008

NAK JALANAN ITU KINI BERSEKOLAH FORMAL

KOMPAS, Selasa, 26-08-2003.
KEGIATAN Dede Supriyatna (19), kini tak hanya bergelut dengan
percobaan membuat alat musik dari berbagai bahan di sanggar saja.
Sejak Juli lalu, tugas Dede-akrab dengan panggilan Ambon-sebagai
pimpinan Dewan Koordinator Anak (Dekan) Sanggar Akar bertambah satu,
kuliah di Institut Musik Indonesia.

Kerinduan Ambon, lulusan sekolah kejuruan di Jakarta untuk
menempuh pendidikan tinggi tercapai sudah. Ia dan enam kawannya
sesama anggota sanggar berpredikat mahasiswa, predikat yang
dirindukannya sejak kecil.

Ada 25 'adik-adik' Ambon di sanggar itu, yang juga berstatus
siswa sekolah dasar (SD), sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP),
dan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA).

Keputusan sanggar menyekolahkan anak-anak jalanan ke sekolah
formal tampaknya sulit dimengerti. Mereka umumnya mengesampingkan
sekolah formal, sebab anak jalanan tak suka terkungkung aturan
pendidikan formal yang biasanya serba kaku.

Akan tetapi, penanggung jawab sanggar, Ibe Karyanto, punya
alasan. Bersama empat rekannya antara lain Ivonne dan Jupri, yang
sejak 1994 mendirikan sanggar, ia hanya menuruti keinginan anak-anak
sanggar. Namun, setiap anak harus bertanggung jawab terhadap
keputusannya bersekolah.

"Jika mereka membolos dan sudah diingatkan tiga kali tidak bisa,
hukumannya dirumuskan bersama. Misalnya, mereka tidak boleh nonton
televisi selama seminggu," tutur Ibe.

Menurut Andre (12), mereka sudah tahu sendiri kalau ada PR yang
harus dikerjakan. "Daripada diomelin Uwak (panggilan anak sanggar
kepada Ibe Karyanto-Red)," tambah Rastini (12), yang sore itu bersama
Aminah tengah mengerjakan PR Matematika.

Keduanya ditunggui Hani, gadis yang sejak beberapa tahun terakhir
bergabung di sanggar dan kini mahasiswa jurusan Bahasa Inggris.
***

JULI 2003 menjadi saat terberat bagi sanggar karena 32 anak dari
sekitar 80-an warga sanggar harus mengurus kenaikan kelas atau masuk
sekolah baru. Ada sembilan anak di tingkat SD, tujuh di SLTP,
sembilan masuk SLTA, dan tujuh ke perguruan tinggi.

Darimana dananya?
"Anak-anak memang punya tabungan pribadi tetapi tidak mungkin
mengandalkan tabungan itu untuk membayar sekolahnya," tutur Ibe.

Tabungan pribadi, menurut Rastini, biasanya untuk membeli buku
tulis, tas sekolah, atau barang pribadi lainnya. "Kalau mau ambil
uang harus jelas untuk apa. Kalau tidak, enggak dikasih Ompung"
terang Rastini. Ompung adalah rekan Ibe yang bertugas antara lain
mencatat tabungan anak sanggar.

Ibe, lelaki asal Solo itu lantas merinci pengeluaran untuk
menyekolahkan 'anak-anaknya'. Tingkat SD, mereka memilih bersekolah
yang dekat dengan sanggar atau basis sehingga bisa mengirit ongkos.
Sekalipun demikian, masuk sekolah baru biar tingkat SD tetap kena
uang sumbangan pendidikan sekitar Rp 300.000 per siswa, ditambah
pembelian buku dalam paket yang sudah ditentukan sekolah. Untuk SD
harganya sekitar Rp 190.000 per anak.

Bagi yang di SLTP dan SLTA, uang sumbangan dan buku paket yang
harus dibeli lebih mahal lagi. Bila dijumlahkan, biaya memasukkan
anak ke sekolah tak kurang dari Rp 10 juta. Angka itu belum termasuk
pembelian paket buku ajar (cetak), seragam, SPP, dan transpor
harian. "Uang buku sampai sekarang belum terbayar, belum ada uang,"
kata Ibe.

Adapun mereka yang kuliah, setidaknya perlu dana Rp 3-4 juta per
anak, ditambah SPP per semester yang besarnya sekitar Rp 1 juta per
mahasiswa.
***

ANDRE, Ambon, Hani, para pemulung, dan pengamen anggota sanggar
boleh gembira bisa sekolah, tetapi para pengasuh Sanggar Akar harus
memutar otak mencari dana pengganti biaya hidup mereka bulan
mendatang. Uang itu dibutuhkan untuk makan yang hanya sekali sehari,
bayar listrik, dan modal kerja membuat kerajinan tangan.

Sebenarnya setahun terakhir, Sanggar Akar sudah mampu mencukupi
kebutuhannya dari sumbangan donatur dan order sablon, membuat lay out
majalah, membuat undangan, dan barang lain dari kertas daur ulang
sampai menerima order main teater dan musik. Grup musik sanggar
bahkan sudah berpentas hingga Surabaya. Untuk keluar kota tarifnya
sekitar Rp 3-4 juta bersih. Hasil pentas untuk semua pendukung
pementasan dan keperluan sanggar.

Kini, defisit keuangan yang parah membuat penghuni sanggar harus
kerja keras mencari order. "Saya sekarang 'mulung' lagi," aku Ibe
tanpa malu. (SOELASTRI SOEKIRNO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar