Kamis, 11 Desember 2008

Pentas Sanggar Akar

SOLIDARITAS ANAK-ANAK PINGGIRAN

Tema yang diangkat Sanggar Anak Akar melalui pementasan operet
Nyanyian Ranting Kering di Taman Ismail Mazuki (TIM) Jakarta, Selasa
(25/7), tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Mereka masih
saja mengangkat kisah sedih anak-anak jalanan yang diperlakukan
sewenang-wenang oleh aparat ketenteraman dan ketertiban alias tramtib.
Memang begitulah realitas yang terjadi sampai saat ini. Anak-anak
pinggiran seakan-akan dikutuk oleh sistem yang tidak adil: hidup
miskin tujuh turunan. Mereka bukannya disantuni oleh negara, tetapi
justru dianggap sampah yang harus disingkirkan.

"Walaupun tema ini sering kami angkat, kenyataan yang kami
hadapi memang belum ada perubahan. Perlakuan terhadap anak-anak
jalanan bukannya bertambah baik," kata Andre, yang bergabung sebagai
anak Sanggar Akar sejak remaja.

Andre dan Soesilo merupakan anak-anak bangkot Sanggar Akar yang
menggarap produksi ke-15 operet Sanggar Akar. Berbeda dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya, kali ini seluruh kepanitiaan dan pementasan
digarap oleh anak-anak sanggar sendiri.

"Untuk pertama kalinya saya bisa sepenuhnya menikmati
pertunjukan ini sebagai penonton," kata Ibe Karyanto, Koordinator
Sanggar Akar.

Operet Nyanyian Ranting Kering memang pernah ditampilkan Sanggar
Akar beberapa tahun sebelumnya, tetapi pertunjukan Selasa lalu hadir
dengan garapan dan dialog baru. Alasannya sederhana, anak-anak
sanggar tidak punya cukup waktu untuk menggarap cerita baru.

Selama sepuluh bulan terakhir mereka sibuk dengan kegiatan
membangun rumah baru. Rumah yang lama, rumah semipermanen dari kayu
bekas telah lapuk dimakan waktu. Kini, berkat dana sebuah organisasi
nonpemerintah dari Belanda serta sumbangan dari para sahabat Akar,
mereka telah memiliki rumah baru berlantai tiga dengan dinding batu
bata. Mereka hanya mempekerjakan empat tukang. Selama 10 bulan, anak-
anak sanggar yang cukup umur, siang malam bergotong-royong membangun
rumah tersebut.

Usai membangun sanggar, sejumlah aktivis sanggar terpanggil untuk
menyelenggarakan pendidikan alternatif bagi anak-anak korban gempa
bumi di Klaten. Dengan modal seadanya mereka mendirikan tenda belajar
di Dukuh Pundung dan Jombor, Kecamatan Gantiwarno, Klaten. Berkat
keberadaan tenda belajar itu pula, anak-anak dusun yang menjadi
korban bencana itu bisa ikut merayakan Hari Anak Nasional yang
pertama kalinya mereka ikuti.

Hampir seluruh pemain teater adalah anak-anak baru, dibawah 18
tahun. Anak-anak itu menggunakan pakaian keseharian mereka. Gerak dan
tari natural ditampilkan dalam penghayatan dan kegembiraan. Mereka
tidak hanya menguji diri dan tampil di atas panggung, tetapi juga
mencoba menggalang solidaritas untuk kawan-kawan mereka yang menjadi
korban gempa bumi di Klaten. Hasil pementasan dan pengumpulan dana
spontan yang dilakukan sebelum pentas dimulai akan dipergunakan untuk
meneruskan kegiatan tenda belajar di Klaten.

Solidaritas tidak harus menunggu kelimpahan. Solidaritas terhadap
sesama melekat dalam keseharian mereka, ketika mereka harus saweran,
mengumpulkan recehan, sekadar untuk dapat izin menjenguk kawan-kawan
mereka yang digaruk petugas dan "diinapkan" di panti-panti
sosial.... (wis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar