Kamis, 11 Desember 2008

PENGORBANAN IBE UNTUK ANAK PINGGIRAN

KOMPAS, Senin, 30-08-2004.
MASA ketika anak-anak jalanan diperlakukan lebih buruk daripada
binatang telah lewat. Ketika Ibe Karyanto, 41 tahun, mulai hidup
bersama-sama anak-anak jalanan, pada saat itulah anak-anak itu
ditangkapi dari stasiun-stasiun kereta api. Mereka kemudian ditahan,
dipukuli, disetrum, disundut rokok, bahkan sampai diseterika. Belasan
tahun sudah Ibe hidup bersama mereka. Sampai hari ini ia memilih
tetap bersama mereka, hidup di rumah terbuka di pinggiran Kali
Malang, Jakarta Timur.

IBE melewatkan masa mudanya untuk anak-anak yang kurang
beruntung. Ketika kawan-kawan segenerasi Ibe sibuk berhitung dengan
masa depan, bekerja siang-malam demi karier, mengejar mimpi hidup
serba berkecukupan, Ibe membuat pilihannya sendiri.

Sampai sekarang ia tidak memiliki rumah. Ia tinggal di rumah yang
bisa ditempati anak-anak yang butuh tempat berteduh. Ruang pribadinya
hanyalah kamar di barak berdinding kayu bekas ia tinggal bersama
puluhan anak didiknya. Ia tidur di atas ranjang kecil dilapisi
selembar kasur tipis. Satu-satunya harta berharga yang dimilikinya
hanyalah sebuah mobil jip hardtop butut keluaran tahun 1974.

Ibe adalah orang di balik Sanggar Anak Akar, kumpulan anak
jalanan dan anak pinggiran yang sering muncul dalam pementasan musik
dan teater. Sejak awal Ibe menggunakan pendekatan kesenian untuk
mendidik anak-anaknya. Generasi pertama anak didiknya kini menjadi
andalan utama aktivitas sanggar. Bertolak dari kegiatan kesenian di
sanggar, tujuh anak didiknya kini belajar di perguruan tinggi. Ada
yang melanjutkan kuliah di bidang seni rupa, musik, desain, dan
bahasa Inggris. Grup musik Sanggar Anak Akar akan menguji
kebolehannya dalam panggung musik dalam konser di Graha Usmar Ismail
10-11 September mendatang.

Kedekatan dengan anak, pencapaian Sanggar Akar, dan prestasi anak-
anak didiknya itulah harta tak ternilai yang dia miliki. Ibe mengaku
sempat cemburu dengan kawan-kawannya yang berhasil menjadi pemimpin
puncak di perusahaan, hidup berkecukupan bersama anak-istri.

Selama bertahun-tahun Sanggar Akar berjalan melibatkan dukungan
banyak orang. Mereka menyumbang tenaga, uang, alat musik bekas,
sampai beras dan barang bekas, ambil bagian dalam proyek bersama
untuk anak-anak yang dimarjinalkan itu. Sejumlah program Sanggar Akar
didukung sejumlah lembaga dana, tetapi itu bukan yang utama.

Berkat dukungan berbagai pihak, Sanggar Akar kini memiliki lokasi
permanen setelah berhasil membeli tanah seluas 714 meter persegi
senilai Rp 580 juta. Tempat itu menampung tidak kurang 80 anak dengan
aktivitas hampir 24 jam. Malam hari merupakan saat sibuk, ketika anak-
anak bermain musik, teater, belajar menyablon, mematung, dan lain-
lain. Dengan tiga basis yang dimiliki, Sanggar Akar melibatkan tidak
kurang dari 200 anak yang selama ini dipinggirkan.

Pematung Dolorosa Sinaga, pemusik Arjuna Hutagalong, para seniman
dan pembuat film, guru, dan mahasiswa ikut bergabung menyumbangkan
keahlian yang mereka miliki untuk anak-anak Sanggar Akar.

PERGULATAN Ibe dengan anak-anak pinggiran diawali pada akhir masa
kuliahnya di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Saat itu, tahun
1988, ia bergabung menangani advokasi anak di Institut Sosial Jakarta
(ISJ) yang dipimpin Romo Sandyawan. Ia sempat meninggalkan dunia anak
jalanan ketika ditugaskan mengajar di Timor Timur selama satu
setengah tahun.

Di Timtim ia diberi tugas mengajar bahasa Indonesia di seminari
menengah. Ibe yang sejak SMA aktif bergiat dalam seni teater dan
sastra mencoba mengembangkan model pengajaran bahasa Indonesia dengan
ekspresi tulis dan lisan. Hasilnya adalah majalah dinding yang
menjadi ekspresi bebas anak-anak SMA itu, termasuk isu kemerdekaan
Timor Leste. Akibatnya, ia dipanggil penguasa militer, diminta
menghentikan penerbitan tersebut. Ibe akhirnya memilih meninggalkan
kota yang sarat nuansa politik, pindah ke Desa Soe Bada yang tidak
ada sekolahnya. "Saya mulai dengan mengajar 15 murid, menggunakan
bangunan sekolah yang sudah rusak dan tidak dipakai lagi," kata Ibe.

Awalnya anak-anak didiknya yang berumur 10-15 tahun menulis
tentang kebun kopi yang ditelantarkan. Warga tidak berani menjamah
daerah itu, takut dituduh bagian dari gerilyawan. Bertolak dari
tulisan itu, anak-anak terjun membersihkan kebun itu di pinggir-
pinggirnya. Inisiatif anak-anak itu bisa menggerakkan warga menggarap
kembali kebun kopi yang ditelantarkan itu. Dari situlah ia diyakinkan
bahwa pendidikan bisa mengubah dan menggerakkan sesuatu.

Sepulang dari Timor Timur, Ibe kembali bergabung dengan ISJ
menangani advokasi anak. Pada 1993 ISJ mulai membuat rumah terbuka
yang bisa menjadi tempat berteduh bagi anak jalanan itu. Sejak itulah
Ibe tinggal bersama anak-anak jalanan.

Saat ia mengurus seorang anak yang ditahan di kantor militer,
kekerasan terhadap anak sengaja ditunjukkan secara telanjang di
hadapannya. Seorang anak digelandang dari ruang tahanan ke ruang
interogasi hanya menggunakan celana dalam, sembari dipukuli dengan
sepotong kayu. Ibe malam itu ditahan. Tontonan kekerasan begitu
sering dia hadapi. Lewat tengah malam, seorang anak tiba-tiba
tersungkur di depan rumah dalam keadaan berlumuran darah karena
berkelahi dengan preman. Peristiwa-peristiwa itu membuat Ibe sulit
tidur, "penyakit" yang dialaminya sampai hari ini.

"Berbicara dengan anak yang menjadi korban besar khasiatnya untuk
menyembuhkan diri saya sendiri," kata Ibe.

KEKERASAN seperti itu kini jarang dia dengar. Ia tidak yakin
apakah bentuk kekerasan seperti itu tidak ada lagi karena kebanyakan
anak asuhnya sekarang ini tidak lagi berkeliaran di stasiun-stasiun
kereta api. Kini anak didiknya banyak berasal dari keluarga tidak
mampu yang tinggal di daerah kumuh.

Dalam mendidik, Ibe sempat melakukan kekeliruan dalam memberikan
teguran keras pada seorang anaknya di hadapan tamu. Pagi itu beberapa
anak didiknya pulang dalam keadaan mabuk, suatu pelanggaran terhadap
kesepakatan yang dibuat bersama. Anak-anak remaja itu langsung
disuruh mandi dan membersihkan diri.

Ibe meminta maaf dan mencoba menenangkan anak itu. Namun,
kemarahan anak itu menjadi-jadi saat diajak masuk ruangan. Dinding
dan almari dipukuli, kaca dipecah. Dengan potongan kaca terhunus ia
siap menyerang. Ibe masih mencoba menenangkan anak itu dan meminta
maaf, tetapi ia pasrah saat anak itu kalap. Ibe membuka baju, duduk
di atas meja, mengatakan ia tidak akan melayani berkelahi dan
mempersilakan anak itu membunuhnya bila belum puas dengan permintaan
maaf yang dia sampaikan.

"Anak itu menangis menjadi-jadi. Sejak itu saya belajar bahwa
saya harus selalu rendah hati. Tiap anak memiliki harga diri yang
tidak boleh dilecehkan dalam bentuk apa pun," tutur Ibe.

Sehari-hari Ibe mendampingi anak- anak sampai pukul 03.00, tanpa
hari libur, dari melatih teater, musik, mendampingi belajar, sampai
sekadar menyapa dan menjadi tempat berkeluh kesah. Meski tanpa harta
benda, tanpa tabungan hari tua, ia tidak cemas terhadap masa depannya.

"Merekalah keluarga saya. Setelah mereka tumbuh, akan ada yang
datang lagi. Saya akan tetap bersama mereka," kata Ibe. (P BAMBANG
WISUDO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar