Kamis, 11 Desember 2008

KAMI BERHAK UNTUK BELAJAR

KOMPAS, Minggu, 14-12-2003.

Tidak ada seorang pun yang ingin tinggal di jalan. Demikian juga
tidak ada yang ingin terlahir cacat. Namun, jika itu yang terjadi,
setiap anak yang kurang beruntung itu berhak untuk mendapatkan
kesempatan belajar dan hidup lebih baik.

Untuk itu, Bapak Ibe Karyanto dan teman-temannya mendirikan Sanggar
Akar. Di tengah perkampungan daerah Gudang Seng, Jakarta Timur,
beberapa anak duduk di lantai sebuah aula. Buku partitur terbuka di
depan mereka. Lagu syahdu terdengar mengalun dilanjutkan dengan
sebuah komposisi klasik.

Anak-anak yang serius memainkan biola, gitar, dan rekorder itu bukan
murid-murid sebuah kursus musik, melainkan anak-anak pengamen yang
suka berdiri di perempatan lampu merah sambil menenteng gitar.
Sesiangan mereka mengumpulkan uang bermodal suara dan gitar mereka.
Di sore hari mereka berkumpul di Sanggar Akar untuk belajar. Ada
pelajaran bahasa, biologi, sejarah, teater, dan musik. Ngapain sih,
pemusik jalanan pakai acara belajar segala?

Lho, yang boleh belajar itu kan bukan hanya mereka yang mampu secara
ekonomi. Dalam Konvensi Hak Anak disebutkan bahwa setiap anak berhak
mendapatkan pendidikan juga pelatihan keterampilan. Menurut Bapak Ibe
Karyanto yang biasa dipanggil Uwak, banyak anak dari keluarga
miskin di kota besar seperti Jakarta punya masalah berat. Di Sanggar
Akar ini, teman-teman kita yang kurang beruntung itu punya tempat
yang aman. Aman untuk mengekspresikan diri, bermain, dan belajar.
Berkumpullah mereka tiap sore. Ada teman-teman yang tinggal di jalan,
yang berasal dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang atau
mereka yang masih punya keluarga lengkap. Mereka sama-sama bergaul
dan belajar di sini.

Cara belajar mereka memang sedikit berbeda dengan cara belajar kita
di sekolah. Sambil bercanda Kak Dini, murid SMP 52 Jakarta, yang juga
peserta sanggar, mengatakan belajar di Sanggar Akar enak. Pelajaran
lebih bisa mereka mengerti karena lebih sesuai dengan keadaan sehari-
hari. Seperti yang dicontohkan Kak Rika (18), Ketua Dewan Koordinasi
Anak (Dekan) Sanggar Anak. Saat pelajaran sejarah, mereka belajar
mencari arti nama mereka masing-masing. Atau asal-usul nama suatu
tempat di lingkungan sekitar mereka. Mau belajar tentang lingkungan
hidup? Mereka melakukannya dengan memelihara ikan dan menanam pohon
di sekitar sanggar.

Hidup sebagai pengamen atau tinggal di tempat pembuangan sampah
Bantar Gebang itu berat. Maka Uwak dibantu oleh Dekan berusaha
membuat kegiatan belajar menyenangkan. Yang penting menurut Uwak,
teman-teman di Sanggar Akar belajar hidup dengan baik. Sebagai ganti
menekuni berbagai mata pelajaran seperti di sekolah, kepada mereka
diajarkan keterampilan menyablon, membuat kertas daur ulang, dan
merajut. Semuanya bertujuan agar nantinya mereka punya keterampilan
dan tidak terus tinggal di jalan. Sikap kerja sama, rasa ingin tahu
dan kemandirian juga dibiasakan dalam kegiatan sehari-hari di
sanggar.

Kemandirian juga diharapkan tumbuh dalam diri teman-teman kita yang
lain, yakni mereka yang bersekolah di SLB Bagian C Tri Asih, Jakarta.
Pelajar di sekolah ini adalah anak-anak dengan IQ di bawah 80, yang
biasa disebut tunagrahita. Penyandang cacat tunagrahita di SD Luar
Biasa Tri Asih menerima pelajaran seperti murid-murid SD lain. Hanya
saja pelajaran diberikan lebih pelan-pelan. Ada juga pelajaran
merawat diri seperti mandi atau mencuci rambut, lho! Memang kegiatan
seperti menyisir rambut, memakai baju atau mengikat tali sepatu
tampak sepele untuk mereka yang normal. Tapi tidak demikian bagi
teman-teman di SLB yang perkembangan pikiran dan mentalnya maksimal
hanya seperti anak umur 12 tahun. Kegiatan sehari-hari diajarkan
kepada mereka agar mereka tidak selamanya tergantung kepada orang
lain.

Kegiatan serupa juga diajarkan di YPAC (Yayasan Pemeliharaan Anak
Cacat) di daerah Hang Lekiu, Jakarta. Penyandang tunadaksa atau cacat
fisik diberi latihan khusus agar bisa mengatasi kekurangannya. Ada
yang belajar membaca huruf Braille, belajar berjalan, belajar
berbicara dengan bahasa isyarat, dan lain-lain. Jika tingkat
kecerdasan anak-anak tersebut normal, mereka bisa mengikuti program
pendidikan inklusi. Ini adalah program masuknya anak-anak penderita
tunadaksa di sekolah umum. Jadi jangan sampai karena seorang anak
menderita cacat, dia terus berada di SLB. Anak cacat juga mendapat
kesempatan untuk hidup seperti orang-orang normal lainnya. Berhak
untuk mendapat pendidikan dan pekerjaan. Sekarang sudah cukup banyak
lho, penyandang tunadaksa yang bekerja di kantor-kantor umum,
misalnya di stasiun televisi swasta.

Kegiatan yang berlangsung di SLB C Tri Asih dan YPAC ini sesuai
sekali dengan salah satu aturan dalam Konvensi Hak Anak. Dalam
konvensi itu diakui bahwa setiap anak punya perbedaan satu sama lain,
termasuk perbedaan sosial, harta kekayaan, dan fisik. Akan tetapi,
anak-anak tidak boleh menerima perlakuan yang berbeda. Hak
kelangsungan hidup dan perkembangan anak dijamin oleh negara.
Oleh karena itu, penderita tunagrahita ringan di Tri Asih yang bisa
beraktivitas normal tanpa hambatan diajari keterampilan seperti
menjahit dan menenun. Hasil jahitan dan tenunan mereka rapi dan
bagus, tidak kalah dari buatan mereka yang normal. Keterampilan
mereka diharapkan menjadi bekal menghidupi diri sendiri.

Penderita tunagrahita ringan juga dibiasakan bertemu dengan orang-
orang di luar sekolah mereka. Mereka diajak pergi ke luar lingkungan
sekolah mereka, belajar berbelanja. Sedangkan murid-murid YPAC pernah
bersama-sama naik kereta api dari Stasiun Gambir Jakarta ke Bogor, ke
kebun binatang atau ke museum. Dengan cara itu mereka bersosialisasi
dengan dunia luar.

Dengan adanya berbagai macam tempat pendidikan seperti di atas,
diharapkan semua anak mendapatkan hak mereka. Semoga saja makin
banyak teman kita yang lain memperoleh kesempatan untuk bisa
menyambut masa depan mereka. Karena, seperti kata ungkapan, öJika
kami adalah masa depan, dan kami sekarat, maka masa depan itu tak
ada.ö Tentu kita tak mau bangsa kita tak punya masa depan, kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar