Kamis, 11 Desember 2008

"KAMPUS" MEREKA TERANCAM TERGUSUR

KOMPAS, Sabtu, 29-03-2003.
KABAR sedih itu seolah datang tiba-tiba. Anak-anak penghuni
kampus harus meninggalkan kampus tempat mereka belajar dan bermain
selama ini. Bahkan, bagi sebagian mereka, kampus itu juga sekaligus
sebagai tempat tinggal. Pemilik tanah tempat kampus itu berdiri sejak
sepuluh tahun lalu bermaksud menjual tanahnya.

Mereka, lagi-lagi, harus pindah ke tempat lain, kecuali kalau
mereka sanggup menebus tanah seluas 700 meter persegi dengan harga Rp
560 juta.

Apa yang disebut kampus itu tidak lain sebuah kompleks bangunan
yang didirikan dari kayu-kayu dan bahan bangunan bekas di kawasan
Gudang Seng, pinggir Kalimalang, Jakarta Timur. Mereka membangun
kompleks itu sedikit demi sedikit sejak sepuluh tahun lalu di atas
tanah kosong seluas 700 meter persegi. Kini mereka memiliki sebuah
aula bermain, bangsal tidur, perpustakaan, ruang komputer, dan ruang
audio visual.

Di tempat itulah anak-anak pinggiran membangun mimpinya, suatu
hari akan keluar dari kemiskinan yang membelenggunya. "Kami bisa
terus tinggal di tempat itu kalau sampai akhir Maret ini kami bisa
mendapatkan tambahan dana Rp 240 juta. Kami baru memperoleh dana
untuk uang muka Rp 40 juta," kata Ibe Karyanto, pendiri dan pemimpin
Sanggar Akar, yang diberi gelar rektor oleh anak-anak jalanan dan
pemulung yang didampinginya.

KESEDIHAN itu agak terobati ketika mereka berhasil menghimpun
sejumlah dana yang dibutuhkan dari para dermawan pada malam dana,
Kamis (27/3). Keberhasilan itu tidak lepas dari simpati sejumlah
artis kepada anak-anak jalanan. Mereka adalah penyanyi seperti
Sherina, Andien, Oppie Andaresta, dan Titiek Puspa.

"Anak-anak yang terpaksa hidup di jalanan ini juga punya potensi,
cita-cita, seperti anak yang lain-lain," kata Sherina sebelum
memainkan jari-jarinya di atas piano dan menyanyikan lagu yang
berjudul Lihatlah Lebih Dekat dan lagu Diana Ross, If We Hold on
Together.

Dengan "rayuan" Titiek Puspa bersama Opie, malam dana itu
mengumpulkan dana Rp 197,8 juta dan lembaran uang 100 dollar AS. Dana
itu belum cukup untuk menutup keharusan membayar Rp 240 juta pada
akhir bulan ini.

Komunitas Sanggar Akar merupakan salah satu pelopor pendampingan
anak-anak jalanan dan anak pinggiran di Jakarta. Kegiatan ini berawal
pada tahun 1989, ketika sejumlah orang tergerak untuk mendampingi
masyarakat miskin kota di bawah organisasi Institut Sosial Jakarta.
Melalui proses yang cukup panjang, mereka melakukan penyadaran diri
dan lingkungan melalui budaya. Kegiatan yang menonjol dalam komunitas
Sanggar Akar adalah kegiatan teater dan kesenian. Sebagian anak-anak
itu, yang telah memasuki masa remaja, bahkan kini menularkan
keterampilannya kepada anak-anak lain.

"Saya ingin kuliah. Saya ingin mendirikan sekolah seperti
Sanggar Akar. Mungkin di kota lain," kata Dede Supriyatna alias Ambon
(18). Pelajar STM kelas III itu bergabung dengan Sanggar Akar sejak 8
tahun lalu.

Anak-anak pinggiran itu berhak mengejar mimpi-mimpinya. Lagu
penutup acara malam itu adalah lagu Michael Jackson, Heal The World,
yang menyuarakan hati mereka.

Buatlah dunia menjadi tempat yang lebih baik, untukmu, untukku,
dan untuk seluruh ras manusia. Ada orang-orang yang tengah menuju
kematiannya, jika kamu tidak cukup peduli pada kehidupan. Buatlah
dunia tempat yang lebih baik, untukmu dan untukku.... (wis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar