Kamis, 11 Desember 2008

Pendidikan Alternatif

ANTARA PERLAWANAN DAN IJAZAH
Oleh: P Bambang Wisudo

KOMPAS, Sabtu, 17-09-2005.
Tanpa bersentuhan dengan pendidikan alternatif, Haryanti (34)
mungkin tidak akan mempunyai cita-cita masuk perguruan tinggi atau
bekerja menjadi guru.

Sekolah telah lama ditinggalkan Harti, demikian ia biasa
dipanggil, ketika Sanggar Anak Alam berdiri di kampungnya di Lawen,
Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Seperti kebanyakan anak-anak
desa pada masa itu, Harti berhenti sekolah setamat SD. Lepas dari
sekolah ia hanya membantu ibunya mengerjakan tugas di dapur atau
membantu bekerja di kebun. Sesekali ia belajar menari di grup
ketoprak yang diasuh ayahnya.

Harti, gadis yang cepat belajar. Berbagai keterampilan cepat
dikuasainya. Ia juga rajin membaca. Bakatnya mengajar juga tumbuh
dengan pesat. Karena itu, meski hanya mengantongi ijazah SD, ia
dipercaya mengajar di taman kanak-kanak (TK) yang didirikan Sanggar
Anak Alam. Kegiatan TK itu terhenti setelah berjalan lima tahun
setelah muncul protes karena gurunya hanya lulusan SD.

Harti tak putus asa. Keinginannya mengajar muncul kembali saat ia
hijrah mengikuti suaminya ke Jombang, Jawa Timur. Ia direkrut untuk
mengajar di TK Yayasan Al Muhamadi milik budayawan Emha Ainun Najib.
Sambil mengajar, ia ikut program kelompok belajar. Berbekal ijazah
penyetaraan itu, ia kini melanjutkan kuliah program Diploma
Pendidikan Guru TK.

"Saya membutuhkan ijazah untuk menunjang kegiatan saya mengajar,"
ujarnya.

Cita-cita tak bisa dicegah
Sekolah alternatif muncul sebagai respons terhadap kealpaan
negara dalam memberikan hak-hak pendidikan kepada masyarakat bawah.
Para aktivis pendidikan alternatif dengan sadar mendesain agar tumbuh
kesadaran kritis pada anak didiknya, membantu mereka menemukan jalan
untuk keluar dari kemiskinan yang membelenggu mereka. Kesadaran
kritis terhadap sistem yang memiskinkan merupakan agenda penting
dalam pendidikan alternatif.

Akan tetapi, ketika kesadaran itu tumbuh, anak-anak tersebut
tidak sekadar ingin memperoleh pekerjaan yang layak agar dapat keluar
dari kemiskinan yang mengimpit keluarganya. Mereka bahkan memiliki
keinginan dan cita-cita yang tidak kalah dengan anak-anak "normal".

Sebutlah Dede Supriyatna (21). Dede, yang dipanggil Ambon oleh
kawan-kawannya, melewatkan masa kecil dengan menjual koran di
perempatan jalan di Jakarta. Bapaknya dulu bekerja sebagai petugas
satpam, harus menghidupi delapan anak. Beruntung, Ambon bersentuhan
dengan Sanggar Akar sehingga ia bisa tetap bersekolah. Meski tak
dianjurkan, Ambon terus belajar di sekolah formal. Padahal, kegiatan
di sanggar biasanya berlangsung hingga dini hari.

Tamat SMP, Ambon melanjutkan pendidikan ke STM. Meski belajar
otomotif, ia ternyata lebih tertarik pada pelajaran musik yang
didapatkannya di sanggar daripada mengutak-atik mesin. Pelajaran
praktik di bengkel merupakan hari-hari yang melelahkan bagi Ambon.
"Sering saya tiduran di kolong mesin," katanya.

Dengan bekal ijazah STM itu ia kuliah Pendidikan Seni Musik di
Universitas Negeri Jakarta. Sebelumnya ia belajar piano gratis selama
setahun di lembaga pendidikan musik yang dipimpin Dwiki Dharmawan.

Di samping kuliah, kini ia memberikan les privat gitar dan
mengajar ekstrakurikuler musik di SD Vincencius.

Sekalipun bisa memperoleh uang, ia tidak mau memberikan les bila
itu mengganggu aktivitasnya sehari-hari di sanggar mulai pukul 19.00
hingga dini hari. "Setengah hidup saya, saya habiskan di sanggar.
Saya ingin ikut mengembangkan sanggar," kata Ambon. "Tanpa Sanggar
Akar, mungkin saya akan jadi orang biasa-biasa saja. Paling-paling
kerja di pabrik. Siang kerja, malam tidur," ungkapnya.

Ambon merupakan salah satu dari delapan anak Sanggar Akar yang
saat ini kuliah. Mereka pada mulanya adalah anak-anak dari kalangan
marginal yang harus bergulat dalam keterbatasan ekonomi sehingga
menutup mimpi-mimpi mereka akan masa depan. Di tengah keharusan
mencari uang, belajar di sanggar, mereka juga belajar di sekolah
formal. Pendidikan alternatif tidak hanya membuka peluang dari
belenggu kemiskinan yang mengelilingi ruang kehidupan mereka, tetapi
juga membuka diri mereka pada dunia yang jauh lebih luas.

Itu tercermin dalam keputusan mereka dalam mengambil bidang
studi. Ada yang mengambil program studi Pendidikan Seni Rupa,
Akuntansi, maupun Bahasa Inggris. Bahkan Rika (19) memilih belajar
filsafat dan mulai semester ini mengikuti kuliah di Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara. Mereka tidak bercita-cita menjadi pegawai negeri
atau karyawan perusahaan. Kalaupun bekerja formal, mereka ingin
menjadi guru. Namun, mereka umumnya lebih suka mengembangkan
pendidikan alternatif seperti yang mereka dapatkan selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar