Kamis, 11 Desember 2008

Kesalehan Sosial Kaum Pinggiran

27-Jul-2007,
[www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Sebuah bale joglo berdiri di tepi sungai Kalimalang, Jakarta Timur yang sedang meluap. Hujan tak kunjung berhenti dari pagi hingga siang itu. Tiba-tiba Guntur (6 tahun) berlari dan bergelayut manja ke pangkuan Doge Abdurrahman (23 tahun), salah seorang pendamping sekaligus pengasuhnya. Guntur adalah salah satu dari 60-an anak-anak bangsa yang karena berbagai kondisi harus tumbuh di jalanan. Di mana dan siapa orang tuanya barangkali tak banyak dipedulikan.

Komunitas Sanggar Anak Akar (SAA) telah delapan tahun lebih berusaha membantu membukakan hari esok bagi mereka di tengah gelombang ketidakmenentuan nasib dengan tanpa membatasi kebiasaan mereka untuk mengamen dan bermain. Duduk melingkar lesehan, berpakaian seadanya tanpa beralas kaki, dan bergerombol sesuai kelompok usia masing-masing. “Di sini kita bagi menjadi 3 kelompok sesuai usia dan tingkat kemampuan anak-anak; pemula, madya dan utama,” terang Doge.

Di Sanggar Akar anak-anak jalanan yang selama ini dipandang liar dan susah diatur belajar berdisiplin, bertanggungjawab dan bekerjasama dengan lingkungan sekitar. Setiap Senin sampai Kamis mulai pukul 09-12 dan 19-21 mereka mempelajari bahasa Indonesia, bahasa Inggris, matematika dan jurnalistik. Begitu masuk hari Juma’at hingga Minggu mereka giliran mengasah kemampuan seni dan kreatifitas. Maka tak heran kalau setiap sudut sanggar ini dipenuhi berbagai karya mereka sendiri, mulai foto, lukisan hingga patung.

Lantas bagaimana dengan penanaman nilai-nilai keagamaan bagi anak-anak yang masih belia ini? Pria kalem yang biasa dipanggil Kak Doge oleh adik-adik di Sanggar Akar ini menerangkan bahwa mereka sangat beragam dalam soal afiliasi keagamaan. Itupun ada yang taat beribadah dan ada yang tidak. Namun Sanggar tidak mau mencampuri sisi ritual yang sangat pribadi, melainkan lebih menekankan pada internalisasi nilai-nilai agama dan budi pekerti dalam prkatik hidup sehari-hari. Suatu ketika pernah ada orang yang menawarkan diri untuk mengajar agama di Sanggar. Lantas Sanggar mengajak orang itu untuk melakukannya di Musholla yang tak jauh dari sana. Dengan harapan supaya sekaligus menjadi media sosialisasi anak-anak jalanan dengan warga setempat. Entah karena apa orang tersebut malah menolak.

Di sini Doge dan teman-temannya ingin menyatukan antara pemahaman dan praktik keagamaan dengan kehidupan sosial. Ini sangatlah penting mengingat kenyaatan bahwa mereka benar-benar diasingkan oleh masyarakat, maka upaya normalisasi sekat sosial itu menjadi mutlak diperlukan. Di sinilah semestinya agama mengambil peran. Semua agama menandaskan bahwa setiap orang dilahirkan dalam derajat yang sama, namun dalam praktik social kenapa ada pemisahan yang demikian kokoh. “Kita cuma ingin mengarahkan anak-anak jalanan dapat shaleh secara ritual sekaligus sosial,” ujar Doge.

Lebih jauh diceritakan, dulu seringkali kegiatan ini dituding sebagai misi kristenisasi karena Ibe Karyanto, sang pemangku sanggar atau biasa disebut rektor, berasal dari kalangan Katolik. Namun Wak Karyo tidak merasa perlu mengklarifikasi fitnah-fitnah seperti itu. Karena Sanggar tidak pernah mengarahkan anak-anak pada agama tertentu, namun tetap membiarkan mereka menganut agama yang telah mereka bawa sebelum masuk sanggar. “Di sini yang kita bangun pada diri anak-anak adalah mental kemandirian, kreatifitas, dan kepemimpinan sosial,” ujar pria yang drop out dari kelas 1 SMA ini.

Di sanggar yang dikelola dengan penuh kekeluargaan ini, toleransi dalam beragama merupakan nilai dasar yang harus ditambatkan pada hati setiap penghuninya. Salah satu ciri orang beragama adalah bisa bersahabat dengan orang yang berlainan agama. Kita harus menghormati dan menghargai apa pun pilihan orang terhadap suatu agama. Dengan begitu, kita akan selalu bisa bekerjasama.

Rupanya rasa kebersamaan dalam ikatan kemanusiaan mampu menjadi pondasi keharmonisan sosial. Pergaulan sosial berjalan di atas relnya sendiri, dan keberagamaan menyiramkan air kedamaian di atasnya. “Kesahalehan sosial dalam pergaulan sehari-hari mencerminkan bersih tidaknya hati kita,” tandasnya.
M. Falikul Isbah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar