Kamis, 11 Desember 2008

"BIARKAN KAMI DI JALANAN ..."

KOMPAS, Sabtu, 14-07-2001.

RATUSAN anak yang sehari-hari bergulat di jalanan, Kamis (12/7),
tenggelam dalam luapan kegembiraan. Anak-anak berusia enam sampai
belasan tahun itu berlarian, berkejar-kejaran, menjerit, tertawa, dan
saling mengancam. Sebagian membawa kaleng, gelas, botol penuh cat
warna-warni, sebagian lagi berburu dengan tangan berlumuran cat,
menangkap siapa saja yang ada di areal itu. Mereka saling mencoreng
badan, menyiram, bahkan mengguyurkan cat dari atas kepala sampai ke
ujung kaki.

"Ini acara yang paling menyenangkan. Saya senang mencorat-coret
kawan saya," kata Sisriyani (6), anak seorang pemulung dari Bantar
Gebang.

Mereka kemudian meneriakkan yel-yel ABG, memukul kaleng, tambur,
potongan bambu, atau benda apa saja yang bisa mengeluarkan bunyi.
ABG ternyata merupakan kependekan dari Anak Bantar Gebang, identitas
anak-anak yang hidup di areal pembuangan sampah terbesar di Bekasi.
Bersama rombongan anak-anak lainnya mereka berparade mengelilingi
areal perkemahan di Cibubur, membawa spanduk dan poster dari kardus
bekas.

Perkemahan anak jalanan yang diberi nama "Kampore" itu telah
menjadi acara tahunan bagi anak-anak jalanan di Jakarta dan
sekitarnya. Kegiatan yang diprakarsai oleh Sanggar Akar, rumah
singgah anak-anak jalanan di pinggir Kalimalang, Jakarta Timur,
tersebut pada tahun pertama hanya melibatkan puluhan anak dan selama
masa Orde Baru tidak pernah luput dari pengawasan intel. Selama tiga
hari perkemahan, mereka bermain, berdiskusi, adu keterampilan,
kemahiran dalam musik, dan ekspresi lainnya.

"Kali ini saya benar-benar bisa menikmati kegiatan ini. Hampir
95 persen acara ini dilaksanakan dan diorganisir oleh anak-anak
sendiri," tutur Ibe Karyanto, Koordinator Sanggar Akar. Ia pun tidak
luput dari guyuran cat. Mukanya hitam legam karena cat. Hanya gigi
dan matanya saja yang tinggal dalam warna aslinya.

Gagasan pesta cat itu muncul empat tahun lalu saat Kampore ke-6
di kawasan perkemahan Ragunan. Pada waktu itu, ketika anak-anak
diminta melukis dengan cat, mereka bahkan mengekspresikan diri dengan
mengecat tubuh mereka. Karena itu, aktivitas ini diambil alih oleh
penyelenggara dan menjadi acara rutin dalam tiga tahun terakhir,
dengan diberi makna bahwa semua anak jalanan adalah satu, termasuk
pendamping mereka.
***

USAI berparade, perwakilan anak-anak tampil di panggung. Dengan
muka tertutup cat dan tubuh coreng-moreng mereka berorasi. Seorang
anak menyerukan agar harga BBM jangan dinaikkan dengan alasan ibunya
memakai kompor untuk memasak. Anak lainnya meminta agar pemerintah
mencegah banjir yang selalu menerjang rumahnya, memberikan kebebasan
belajar dan bermain, membiarkan mereka bebas di jalanan. Banyak di
antara anak-anak itu yang menyuarakan keinginan Tramtib, institusi
keamanan dan ketertiban di bawah pemerintah daerah, dibubarkan.

"Kami ingin bebas ngamen dan mencari uang. Biarkan kami di
jalanan. Musnahkan Tramtib supaya anak jalanan senang," kata Angga
(14), yang sehari-hari ngamen di kawasan Blok M.

Regi (16) yang baru seminggu melarikan diri dari panti sosial
Kedoya, mengajak kawan-kawannya untuk membubarkan Tramtib. Selama
lima minggu, kata Regi, ia "dipenjara" di Kedoya setelah ditangkap
oleh seorang intel dalam operasi preman beberapa waktu lalu.
Menanggapi ajakan Regi, seorang anak berteriak agar Tramtib dibom
saja. Namun, Regi mengusulkan agar mereka berunjuk rasa terus-menerus
sampai Tramtib dibubarkan.

"Agar kita aman di jalanan," kata Regi. "Tapi jangan pakai
lempar-lempar."
***

APARAT Tramtib merupakan sumber kerisauan anak-anak jalanan.
Kekerasan yang mereka hadapi sehari-hari di jalanan, bukanlah dari
para penjahat, preman, atau pemalak, tetapi justru aparat Tramtib.

Ari (14), yang sehari-hari menyapu lantai kereta dari Stasiun
Jatinegara untuk mendapatkan uang receh dari penumpang, menuturkan
bahwa tiga orang rekannya tidak bisa ikut dalam acara perkemahan itu
karena keburu ditangkap Tramtib sewaktu tiduran di jalanan.

"Saya sempat melarikan diri. Waktu saya berangkat, aparat Tramtib
juga berkeliaran di taman di dekat tempat saya singgah," kata Ari.
Coley dan Coki yang telah belasan tahun hidup di jalanan
mengatakan bahwa hak mereka untuk hidup di jalanan. Juga ngamen di
perempatan jalan.

"Apa salahnya kami ngamen di jalanan. Kami tidak mencuri. Kalau
dibilang mengganggu, ada orang- orang yang memberi kami uang atau
membawakan kami makanan. Justru karena ada kami, perempatan di
kawasan Blok M tidak pernah ada orang kehilangan kaca spion atau HP.
Lalu, kenapa kami dilarang?" ujar Coley.

Ia menuturkan, pernah ditangkap polisi dan disarankan untuk
berdagang. Namun, saat berjualan koran atau teh botol di kaki lima,
ia tidak luput dari kejaran Tramtib dan gerobaknya disita.

"Berbuat jahat dilarang, yang halal juga dilarang, lantas kami
disuruh apa?" kata Coley.

Coki menuturkan, ia dan kawan-kawannya berada di jalanan bukan
karena kemauan mereka sendiri. Mereka lari ke jalan karena tidak
punya uang atau menjadi korban kekerasan orangtuanya.

"Karena dilarang ngamen di perempatan, semua pengamen naik ke bus
kota. Bagaimana dengan adik-adik saya yang masih kecil kalau jatuh
dari bus. Apa pemerintah yang nanggung?" kata Coki.

Penanganan anak jalanan, menurut Ibe Karyanto, bukan soal
mengeluarkan atau tidak mengeluarkan mereka dari jalanan. Yang
penting ketika mereka di jalanan mereka utuh sebagai pribadi,
memiliki kebanggaan, tidak menunjukkan sikap-sikap defensif atau
meminta belas kasihan orang lain. Sektor informal, berdagang di kaki
lima, pun merupakan kehidupan di jalanan.

"Masalahnya memang bukan mengeluarkan atau tidak mengeluarkan
mereka dari jalanan," kata Karyanto. (P Bambang Wisudo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar