Kamis, 11 Desember 2008

MUSIK, TERAPI PSIKOLOGIS ANAK

KOMPAS, Kamis, 13-05-1999.
Jakarta, Kompas
Anak-anak pinggiran/jalanan perlu ditangani dengan pendekatan
individual, realistis, dan sesuai dengan bakat mereka. Dalam hal ini,
musik bisa menjadi terapi psikologis bagi mereka. Karena dengan
mengekspresikan diri melalui karya musik, mereka mendapatkan
kebanggaannya.

Demikian benang merah diskusi "Musik sebagai Media Penyadaran
Anak Pinggiran" yang diselenggarakan Sanggar Anak akar Institut Sosial
Jakarta (ISJ) di Bentara Budaya, Jakarta, Rabu (12/5). Diskusi itu
merupakan rangkaian Kampanye Perlindungan Hak Anak yang diadakan
Konsorsium Anak Jalanan Indonesia, mulai 10 Mei hingga 11 Desember
1999 dari Jakarta, Bandung, dan Surabaya.

Diskusi itu menampilkan pembicara pemusik asal Bandung Harry
Roesli, penulis Arswendo Atmowiloto, pimpinan Sanggar Anak akar Ibe
Karyanto, dan pelatih musik Sanggar Anak akar Jeffar Lumban Gaol.
Sebelumnya, Selasa malam lalu di Graha Bakti Budaya Taman Ismail
Marzuki, Sanggar Anak akar meluncurkan kaset volume kedua bertajuk
Anak Pinggiran. Bersamaan dengan peluncuran kaset itu, mereka juga
mementaskan operet berjudul Muka-muka di Kaca.

Dalam diskusi kemarin, Arswendo Atmowiloto mengemukakan,
sebenarnya anak-anak jalanan tidak butuh dikasihani, mereka hanya
butuh diperhatikan dan diberi keterampilan. Arswendo melihat,
penyadaran kepada mereka tetaplah merupakan penyadaran secara pribadi,
secara individual.

"Yang penting menyadarkan bagaimana mereka dapat bertahan
hidup tanpa mengandalkan kroni, tanpa mengandalkan maesenas, tanpa
mengandalkan belas kasihan, juga tanpa mengharapkan keajaiban. 'Sang
penyelamat' mereka adalah diri mereka sendiri," papar Arswendo.

Dalam bayangan Arswendo, pendekatan atau penyadaran pribadi
lepas pribadi adalah membiarkan mereka menemukan cara terbaik untuk
hidup. Maksudnya, jangan memaksa mereka untuk meninggalkan habitatnya,
situasi dan kondisi mereka yang selama ini menjadikan mereka hidup.
"Jangan paksa ajari pertobatan, nilai luhur atau tata krama. Mereka
akan mempraktikkan kalau memerlukan," kata Arswendo.

Penyadaran melalui musik, berteater, berseni lukis, berkarya
atau hidup bersama, pada akhirnya adalah penyadaran akan kemampuan
individual untuk menjadi 'jagoan', supaya mampu bertahan di tengah
kerasnya kehidupan yang harus mereka jalani.


Kebanggaan
Sementara menurut pelatih musik Jeffar Lumban Gaol, harga diri
dan kebanggaan anak-anak pinggiran dapat dibangkitkan melalui musik.
Musik dapat menjadi terapi psikologis bagi mereka. "Yang saya tekankan
pada mereka: jika kalian bermain musik, maka kalian akan
diperhatikan," katanya.

Pemusik Harry Roesli menyatakan, upaya menyadarkan anak-anak
pinggiran agar mereka bertindak sesuai dengan norma-norma yang berlaku
adalah sebuah kerja yang sangat besar. Namun, kata Harry, sebenarnya
ketidaksadaran anak-anak pinggiran itu merupakan ekses dari
ketidaksadaran orang-orang yang berada di atas atau orang-orang yang
memiliki kewenangan.

"Mencuri, buat norma kita itu kriminal. Tetapi buat mereka
nilainya survival, kendati orang-orang yang normatif juga suka
mencuri, korupsi, dan manipulasi. Malak atau berkelahi buat kita
nilainya negatif, tetapi buat mereka itu nilai dari sebuah eksistensi
di dunia mereka. Jadi penyadaran itu harus dimulai dari bapak-bapak
kita," kata Harry.

Dia mensinyalir jumlah anak pinggiran ini kian hari kian
bertambah. Dari pemantauan di perempatan-perempatan jalan di Kota
Bandung, setiap tiga hari ada lima anak baru. Karena itu dia sepakat
bahwa musik memang efektif untuk penyadaran. Menurut dia, lagu-lagu
anak jalanan jauh lebih kontekstual, lebih mengakar daripada lagu-lagu
yang dibawakan grup musik yang telah terkenal saat ini.

Sementara itu, Ibe Karyanto mengungkapkan, yang lebih sering
terjadi anak-anak jalanan ini belajar musik dari teman-teman mereka.
Mereka sendiri yang menentukan jadwal latihan sore hari, karena pada
pagi, siang atau malam hari ada yang kerja jualan koran atau calo
taksi. "Jadi saya tidak mengajari mereka. Saya tidak ingin mereka
hanya menjadi tukang. Saya ingin mereka mengenal potensi diri seperti
lagu berjudul Membangun Mimpi di atas Kaki Sendiri," tuturnya.

Menyinggung kaset Sanggar Anak akar volume kedua, Susilo
Adinegoro selaku produser mengatakan, kaset tersebut diproduksi 3.000
buah. Sedangkan volume pertama yang berjudul Nyanyian Ranting Kering
telah terjual 10.000 kaset dan permintaan tetap mengalir hingga kini.
"Biaya produksi kaset volume kedua ini Rp 15 juta. Kaset itu akan kami
pasarkan lewat acara-acara diskusi. Kami akan membuka jaringan pasar
sendiri," kata Susilo. (ij/lok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar