Kamis, 11 Desember 2008

Anak-anak Jalanan di Sanggar Akar



Mengisi Kebahagiaan dengan Keterampilan dan Pendidikan


Sinar Harapan, 23 Juli 2002

Hari Anak bisa jadi belum bergaung di telinga anak-anak umumnya, bahkan di kalangan orang tua sekali pun. Namun di sebuah perumahan yang berlahan luas, tepat di pinggiran Kali Malang, di antara rumah papan dan beberapa jenis hewan peliharaan, beberapa anak sibuk mengangkuti kayu-kayu.

Anak-anak dari komunitas Sanggar Akar ini, memang tahu bahwa Peringatan Hari Anak Nasional ini bermakna bagi mereka. Mereka akan mengadakan rangkaian kegiatan dengan tema ”Refleksi Citra Karya Pendidikan Anak-anak Merdeka”. Rangkaiannya, be-rupa bazar, pameran karya pendidikan kelompok dan organisasi masyarakat, panggung kreatif, ekspresi warna, pemutaran film anak-anak dan diskusi terbuka antartokoh pendidikan di Indonesia. Hampir keseluruhan kegiatan ini diadakan di Sanggar Akar pada akhir bulan Juli.

”Hari Anak kalau bisa bukan cuma agenda semata, tapi juga bagaimana bisa mengungkapkan tentang hak-hak untuk anak terutama pendidikan untuk anak,” ujar Susilo, pendamping di Sanggar Akar. Hari anak, menurutnya, pada momen ini juga dijadikan oleh Sanggar Akar bukan hanya kegiatan internal, tapi juga merupakan kampanye publik tentang pendidikan anak.

Di tempat itu, anak-anak jalanan memang bisa mendapatkan impian yang mereka inginkan: bersekolah. Selain hampir tigaperempat dari anak-anak Sanggar Akar yang menjalani sekolah formal, ada juga yang benar-benar menggantungkan pengetahuannya dari menimba di sekolah ini.

Sebuah sekolah, bagi mereka, memang bisa nyata untuk mendapatkan ilmu. Tak seperti ”sekolah biasa”, walau secara fisik sekolah tempat mereka belajar dari kayu namun dari materi yang diajarkan, sekolah buat anak-anak jalanan di Sanggar Akar justru lebih istimewa. Seperti yang diakui oleh Dede, seorang lelaki yang sudah sepuluh tahun mengenyam pendidikan di sanggar ini. Menurutnya, bila sekolah formal, sangat menekankan teori, di sini lebih menekankan pada praktik. Seperti pengajaran bahasa Inggris secara lisan, pendalaman sejarah lokal, jelas mata pelajaran itu tak bisa didapat dalam pelajaran formal yang lebih kaku secara kurikulum. Dengan luas kelas sekitar tiga kali empat meter persegi, anak-anak telah mendapatkan materi pendidikan secara berkala dan intensif.

Menurut pengamatan SH, anak-anak di sana memang terkesan lugas dan ringan tangan. Secara spontan, seorang remaja tampak menggergaji papan yang dipotong kecil-kecil. ”Untuk tempat penghapus di kelas, Mas,” ujarnya saat ditanya maksudnya menggergaji. Sementara beberapa yang lainnya mempersiapkan minuman dan makanan buat para tetamu.

Hidup dan Belajar
Areal Sanggar Akar yang berada di pinggiran Kali Malang itu, menurut Susilo memang merupakan tempat paling strategis dan ideal untuk pemukiman para anak jalanan. Selain areal yang luas, masyarakatnya lebih terbuka ketimbang pemukiman mereka sebelumnya – banyak suka duka mereka dapatkan sebelum akhirnya tinggal di tempat ini. Tanah di tempat itu juga cukup subur untuk ditanami. Di tempat itu, mereka juga memelihara ikan, burung dan beberapa ekor monyet. Perawatan tentu saja dilakukan bersama, anak-anak itu tampak menjalani saja semua pekerjaan dengan ringan dan riang.
Kegiatan mereka yang lain adalah event-event kesenian yang sudah sejak lama mereka lakukan. Selain pementasan Nyanyian Kaleng Rombeng yang dilakukan di Taman Ismail Marzuki bulan lalu, penggarapan album kaset juga pernah mereka lakukan. Secara terbuka, Sanggar Akar juga kerap mengadakan acara kesenian secara spontan dan bebas pada minggu ketiga.

Anak-anak juga diajarkan untuk mengelola koperasi. Selain memelihara hewan dan tanaman, anak-anak juga diajarkan untuk membuat kue, berorganisasi atau bahkan mengelola sebuah kegiatan yang sedang mereka lakukan. Untuk sebuah kegiatan yang dilakukan, setiap anak bisa saja menjadi humas atau sekretaris, semua diatur menurut kesepakatan antara anak-anak dan para pembimbing. Setelah sepuluh tahun Sanggar Akar berjalan, sesungguhnya mulai terjadi regenerasi di kalangan internal. Bila pada tahun-tahun yang lalu, sanggar tersebut memerlukan sukarelawan dari luar, saat ini anak-anak anggota yang telah dewasa dipercaya sebagai kakak pembimbing bagi adik-adiknya.

Agenda
Di awal bulan Agustus, anak-anak jalanan yang kini tergabung dalam Komunitas Sanggar Akar ini juga punya agenda akan mengadakan Kampore (singkatan dari Kampoeng Kere, sejenis ajang Jambore, red), sebuah kegiatan rutin tahunan yang diadakan oleh sanggar ini. Agak berbeda dengan pelaksanaan Kampore tahun sebelumnya, yang mengundang semua jaringan LSM, kesenian dan pendidikan anak dari setiap provinsi, kali ini pengadaan Kampore lebih ditujukan pada komunitas Sanggar Akar sendiri. Mulai dari membangun team work,membangun sikap solider dan toleran di kalangan mereka. ”Ini yang agak berbeda ketimbang tahun sebelumnya,”ujar Susilo, yang selama ini dikenal sebagai pendamping di Sanggar Akar.

Terhadap masyarakat luar, selain banyak menerima bantuan moril dan materil, para anak yang dididik di Sanggar Akar ini juga akan mendapat kesempatan dipertemukan dengan anak-anak dari beberapa sekolah, di bawah tema ”Kau dan Aku Berkarya Sama-sama”. Selain berdialog dan saling mengajarkan, para anak-anak Sanggar Akar juga akan mensosialisasikan kemampuan seni dan keterampilan mereka. Untuk maksud ini, menurut Susilo, masih sedang diusahakan dengan beberapa sekolah, antara lain SMP Al Azhar, SMP Yakobus dan SMU Negeri 4 Jakarta.

Menurut Susilo, mereka juga akan mengadakan pameran, seperti pameran pendidikan, pertunjukan talkshow lewat radio. Anak-anak juga diberikan kesempatan untuk berdialog dengan masyarakat luas. Dengan kegiatan-kegiatan yang positif, berupa agenda internal dan eksternal, anak-anak ini memang terlihat cerdas dan responsif saat menerima tetamu yang datang ke areal mereka. Pada saat pertemuan dengan wartawan, mereka terlihat cepat dan kritis dalam merespons setiap pertanyaan. Tak hanya berupa keterampilan, mereka bahkan telah menjadi penulis walau masih di kalangan sanggar. Mereka juga bikin majalah dinding, menyablon atau me-lay-out majalah. Pengetahuan, keterampilan dan pendidikan, bukan monopoli orang-orang kalangan atas, semua manusia seharusnya berhak menikmatinya.

(SH/sihar ramses simatupang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar