Jumat, 26 Desember 2008

Sejarah Konvensi Hak Anak (KHA)

Kata konvensi hak anak atau yang lebih dikenal dengan singkatannya KHA banyak orang yang sudah pernah dengar dan tahu terutama bagi orang-orang yang mempelajari tentang hukum. Lantas, bagi kita orang-orang yang tidak mempelajari hukum tahu ga sih artinya ? atau jangan-jangan belum pernah dengar dengan kata tersebut. Untuk itu mari kita simak semua dalam tabloid NIAT edisi kedua ini, karena kita akan mengupas semua tentang kata konvensi hak anak tersebut.

Konvensi atau kovenan adalah kata lain dari treaty (traktat atau pakta), merupakan perjanjian diantara beberapa negara. Perjanjian ini bersifat mengikat secara yuridis dan politis. Oleh karena itu, konvensi merupakan suatu hukum internasional atau biasa juga disebut sebagai ‘instrumen internasional’. Konvensi Hak Anak adalah perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis diantara berbagai negara yang mengatur hal – hal yang berhubungan dengan hak anak.

Gagasan mengenai hak anak bermula setelah berakhirnya perang dunia I sebagai reaksi atas penderitaan yang timbul akibat bencana peperangan terutama yang dialami oleh kaum perempuan dan anak – anak, para aktivis perempuan dalam pawai protes mereka membawa poster – poster yang meminta perhatian publik atas nasib anak – anak yang menjadi korban perang.

Salah seorang diantara para aktifis perempuan tersebut, Eglantyne jebb, kemudian mengembangkan 10 butir pernyataan tenteng hak anak. Pada tahun 1924, untuk pertama kalinya Deklarasi Hak Anak di adopsi secara internasional oleh Liga Bangsa – Bangsa. Deklarasi ini dikenal juga sebagai “deklarasi jenewa”.

Pada tahun 1959, Majelis Umum Perserikatan Bangsa – Bangsa kembali mengeluarkan pernyataan mengenai hak anak, merupakan deklarasi internasional kedua. Lalu pada tahun 1979, saat di canangkannya “Tahun Anak Internasional”, pemerintah polandia mengajukan usul bagi perumusan suatu dokumen yang meletakan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak – hak anak dan mengikat secara yuridis. Inilah awal mula perumusan tentang Konvensi Hak Anak.

Tahun 1989, rancangan konvensi hak anak diselesaikan, dan pada tahun itu juga naskah akhir tersebut disahkan dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB (tanggal 20 november). Rancangan inilah yang kita kenal sebagai Konvensi Hak Anak (KHA) seperti yang kita kenal sekarang ini. Kemudian, indonesia meratifikasi KHA dengan keputusan presiden No. 36/1990 tertanggal 25 agustus 1990. Tetapi KHA berlaku di indonesia mulai 5 oktober 1990, sesuai pasal 49 ayat 2,”Bagi tiap – tiap negara yang meratifikasi atau yang menyatakan keikutsertaan pada konvensi (Hak Anak) setelah diterimanya instrumen ratifikasi atau instrumen keikutseraan yang keduapuluh, konvensi ini akan berlaku pada hari ketigapuluh setelah tanggal diterimanya instrumen ratifikasi atau instrumen keikutsertaan dari negara yang bersangkutan”.

Nah, sekarang sudah mengerti belum kamu-kamu semua tentang KHA (Konvensi Hak Anak). Ternyata sejarahnya cukup lumayan panjang yah untuk mencapai draft akhir tentang konvensi hak anak. Dan yang pasti setelah kamu semua mengerti tentang KHA, jangan lupa yah bahwa kita sebagai seseorang yang lebih dewasa (19-keatas) dari pada anak-anak punya kewajiban untuk menjalankan prinsip-prinsip tentang KHA yaitu menghormati seorang anak sebagai manusia. Dan kamu-kamu semua yang masih berusia anak (0-18) harus tahu bahwa seorang anak itu punya hak yang harus di hormati oleh orang dewasa seperti orang tua, kakak, dsb. Mudah-mudahan kalian semua pada paham yah pengertian dari Konvensi Hak Anak (Sumber : buku pengertian KHA, Unicef)









BUTIR KE 2 KONVENSI PBB TENTANG HAK ANAK

2. MEMPEROLEH PERLINDUNGAN DAN PERAWATAN SEPERTI UNTUK KESEJAHTERAAN, KESELAMATAN DAN KESEHATAN.

Artinya, setiap anak yang ada didunia ataupun khususnya di indonesia berhak di lindungi dari hal – hal yang mengancam dirinya. Inilah yang menjadi peran orang tua atau lebih umumnya orang dewasa, bagaimana caranya supaya seorang anak itu benar-benar harus terlindungi dari mara bahaya yang bisa mengancam dirinya. Kita harus mulai peran ini dari lingkup yang paling terkecil yaitu di keluarga. Bagi kita yang menjadi orang tuanya atau yang menjadi seorang kakak harus berperan melindungi sang adik bagi seoarang kakak atau sang anak bagi orang tua . Di zaman sekarang ini sedang marak-maraknya seorang anak dibiarkan tentang keselamatannya. Coba kita lihat anak-anak yang ada di jalanan. Tanpa dipedulikan tentang keselamatannya, mereka teman-teman yang di jalan menjadi rentan terhadap suatu hal yang mengancam dirinya. Jika hal ini dibiakan begitu saja berarti kita yang sadar melihatnya dan tahu, telah melanggar tentang konvensi hak anak butir ke dua ini, karena kita membiarkan masalah tersebut terjadi. Kalau sudah seperti itu berarti kita namanya sudah tidak menghormati seorang anak sebagai manusia. Dan hak-haknya terabaikan begitu saja tanpa ada rasa tanggung jawab. Dan karena itulah peran kita sebagai orang dewasa harus membantu seorang anak jika melihat suatu kejadian di atas. Dan inilah peran yang paling ideal yang harus dijalankan oleh orang dewasa. Bagi kamu-kamu semua yang belum memahami tentang isi butir-butir KHA, mungkin harus segera mempalajarinya. Daripada nanti malah kamu yang akhirnya membiarkan hak seorang anak terabaikan. Apakah kamu mau dirimu seperti itu? Semoga kamu bukan salah satu orang yang tidak menghormati hak anak yah.....! Kaminah

Kamis, 11 Desember 2008

Worskhop Sastra di Sanggar Akar

Sudah lama saya ingin mengisi kuliah di sanggar akar dengan kegiatan workshop Sastra. Ide ini sempat saya lontarkan pada Ibe Karyanto yang lebih dikenal di kalangan anak-anak akar dengan panggilan “Uwak” lebih dari setahun lalu. Akan tetapi rencana ini cukup lama tenggelam meski dan baru terlaksana menjelang ulang tahun akar ke-14. Saya bukanlah orang yang tahu sastra. Saya hanya merasa membaca cukup banyak karya sastra. Dari situlah saya belajar banyak. Ada begitu banyak novel dan penulis yang saya sukai. Beberapa novel juga memberi inspirasi dalam hidup saya, menemani saya pada saat harus berjuang dalam kesepian.

Sebagai seorang jurnalis saya belajar banyak dari sastra. Di rumah saya membiasakan anak saya, Oxi, membaca sejak kecil. Sejak kelas 5 SD, ia saya perkenalkan dengan karya sastra. Barangkali ia belajar lebih banyak dari kegiatan membaca di rumah daripada yang ia peroleh dari bangku sekolah.

Saya menggunakan pendekatan literasi kritis dalam workshop ini. Literasi kritis hanya dibicarakan sedikit orang di Indonesia. Padahal pendekatan ini cukup populer, termasuk di negeri-negeri kapitalis seperti Amerika Serikat dan Australia. Literasi kritis membantu kita untuk tidak sekedar membaca teks tetapi juga menelaah secara kritis bagaimana teks itu dikonstruksi dalam relasinya dengan kekuasaan.

Dalam workshop ini saya menggunakan novel “Sekali Peristiwa di Banten Selatan” karya Pramoedya Ananta Toer. Novel ini saya pilih karena ini merupakan salah satu novel Indonesia yang bagus, ditulis oleh sastrawan yang hebat, dan bukunya relatif tipis. Pilihan ini saya ternyata cocok dengan anak-anak yang mengikuti workshop ini. Sekitar 15 anak ikut dalam workshop ini. Ada yang masih berumur 13 tahun, ada yang sudah lulus SMA.

Workshop ini terbagi dalam tiga sesi. Sesi terakhir akan diisi dengan pembuatan blog. Pada sessi pertama, saya awali dengan berbagi cerita mengenai novel yang paling menarik yang pernah dibaca. Saya senang sekali bahwa hampir seluruh anak sering membaca buku. Mereka bisa bercerita tentang novel-novel yang menurut mereka paling menarik. Ada Harry Potter, Laskar Pelangi, bahkan ada beberapa anak yang sudah membaca sejumlah buku tetra lurgi Pramoedya Ananta Toer. Ini berbeda sekali dengan pengalaman saya mengajar di sebuah universitas swasta di Jakarta maupun dalam diskusi dengan komunitas jurnalistik di sebuah SMA Negeri paling top yang ada di Jakarta. Mereka jarang membaca buku. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengenal Pramoedya Ananta Toer.

Setelah berbagi pengalaman, anak-anak dibagi dalam beberapa kelompok. Di tiap kelompok anak-anak bergantian membaca keras-keras bab pertama dari novel Banten Selatan. Tujuannya utamanya adalah supaya anak membiasakan membaca sampai selesai bab pertama. Biasanya, bab pertama adalah bagian yang tersulit bagi mereka yang belum terbiasa membaca buku. Karena itu dalam pembelajaran sastra, ada baiknya bab pertama dibahas bersama-sama. Setelah anak-anak selesai, kami mendiskusikan bab pertama. Mereka bilang bahwa buku ini mudah dibaca, bahasanya mudah, dan hidup. Kami juga mendiskusikan tentang kharakter utama dalam buku ini. Sessi ini diakhiri dengan tugas. Setiap anak diminta menulis berita, tinjauan buku, cerpen, atau naskah drama dari bagian buku ini.

Dalam pertemuan berikut, anak-anak membawa karya yang ditulisnya. Ada seorang anak yang menulis naskah drama. Kami mulai sessi kedua dengan mendiskusikan isi buku dan membahas bersama apa yang ditulis anak. Di sini anak diajak mengungkapkan pendapat mereka tentang tokoh-tokoh utama maupun isi cerita. Mereka mengidentifikasi Musa sebagai juragan yang jahat, berkong-kalikong dengan gerombolan dan pak lurah untuk menindas petani. Mereka bersimpati kepada Ranta dan isterinya Ireng, petani miskin yang tertindas. Akan tetapi mereka belajar bahwa mereka tidak menyerah. Petani-petani itu berani melawan penindasan, tidak dengan amok kekerasan, tetapi dengan strategi yang baik dan akhirnya menang.

Ada tiga aktivitas utama dalam kegiatan tersebut. Membaca, berbicara di depan umum, dan menulis. Inilah tiga aktivitas utama dalam komunikasi yang menjadi kelemahan anak-anak sekolah.

Sessi kedua diisi pula dengan belajar menulis deskripsi dan narasi. Anak-anak saya minta menuju ruangan di kompleks sanggar yang paling berkesan bagi mereka. Mereka saya minta mengamati dan merekam dengan pancaindra mereka. Ketika mereka berkumpul kembali, saya minta mereka bernapas seperti lebah dan kemudian terbang sebagai seekor lebah. Dengan suara mendengung mereka terbang di atas Kali Malang, melihat sanggar dari atas, kemudian masuk ke dalam kompleks sanggar Akar, dan mencari ruangan yang paling mereka sukai. Selesai mengamati mereka terbang lagi ke luar sanggar, masuk lagi, dan kembali bersatu dengan tubuh mereka. Cara ini akan membantu kita dalam mendeskripsikan dan menceritakan sesuatu. Deskripsi dan narasi merupakan kelemahan utama penulis di Indonesia, baik itu jurnalis maupun novelis.

Ini merupakan beberapa contoh karya yang ditulis anak-anak dari “reportase” Pramoedya yang ditulis dalam buku Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Menurut saya, tulisan-tulisan ini cukup bagus. Bila anak-anak ini rajin membaca, terus-menerus menulis, mereka pasti akan menjadi penulis-penulis yang tangguh. (P Bambang Wisudo)

Cerpen
MAU HIDUP ENAK, MAKANYA BERJUANG ...

Kabut hitam telah menyihir gumpalan-gumpalan awan putih bersih menjadi beberapa kumpulan awan yang berwarna hitam kelabu. Dinginnya udara pegunungan semakin menusuk-nusuk tulang. Dari jauh nampak sebuah pegunungan yang dipadati oleh pepohonan yang tinggi, tetapi tidak terlihat jelas karena selimut tebal kabut hitam. Sesekali angin datang untuk menyampaikan suara deburan ombak yang berasal dari laut Hindia.

Di balik selimut tebal kabut nampak samar-samar sebuah gubuk reot. Gubuk tersebut bertiangkan bambu yang sudah lapuk. Atapnya daun rumbia. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang sana-sini sudah mulai berlubang dimakan rayap. Lantai tempat mereka berpijak adalah sebuah lantai alami yang tak akan didapatkan pada zaman sekarang yaitu lantai tanah. Gubuk reot itu hanya dihuni oleh sepasang suami-istri, yaitu Ranta dan Ireng.

Nampak dari kegelapan dua orang pemikul singkong hendak menuju truk-truk dari kota memunggah singkong. Kedua pemikul singkong itu bernama Aden dan Melki. Mereka berdua sama-sama menggunakan celana hitam selutut dan bertopi capio. Sesampainya di pondok milik Ranta mereka berdua berhenti untuk istirahat dan minum sedikit air sebagai penghilang dahaga.

Aden : Rupanya mau hujan lagi ya ?
Melki : Iya, seandainya saja kita punya gerobak!
Aden : GEROBAK!!! Yang benar saja kau ini kalau bicara.
Melki : Dulu jalan ini kita yang buat, tapi apa sekarang, masa mau lewat jalan buatan sendiri saja mesti bayarpajak pada Onderneming, padahal ini kan jalan kita sendiri.
Aden : udah jangan kebanyakan omong, nanti keburu ujan lho,

Mereka berdua segera menghilang dari pondok Ranta. Tak berapa lama Ranta sampai dirumah turunlah hujan. Ranta yang sedang duduk di bale segera menurunkan kakinya ketika mendengar suara seorang perempuan yang sudah tak asing lagi baginya. Ireng, itulah istri Ranta,

Ireng : Sudah pulang pak? Tak ada hasil!
Ranta : Sapinya sudah dijualkan kepada orang, bagaimana dipasar tadi?
Ireng : Pasar kacau, diobrak abrik DI.
Ranta : Dia lagi.........

DI atau Darul islam adalah sekelompok manusia yang tak berkeprimanusian. Merekalah yang selalu meresahkan warga desa Banten Selatan. Pada saat mereka sedang asik berbincang-bincang tentang DI, datanglah juragan Musa. Seperti tahun-tahun sebelumnya, dia datang untuk menyuruh Ranta mencuri bibit karet milik ondermining, dengan upah uang seringgit. Jam sebelas malam Ranta pergi untuk melancarkan pekerjaanya. Setelah beberapa kali bolak-balik Ranta mengantar curian bibit karet untuk juragan Musa. Pada saat Ranta ingin meminta sisa upah atas pekerjaan yang dilakukannya itu, ia malah di pukuli dengan rotan dan mereka juga merampas pikulan dan golok milik Ranta. Pada saat Ranta kembali kerumahnya , Ranta di sambut oleh Ireng dan kedua pemikul singkong. Setelah keadaan Ranta sedikit membaik, mereka berbincang-bincang tentang kekejian juragan Musa. Beberapa hari kemudian setelah perbincangan itu, kedua pemikul singkong itu membawa teman 1 lagi yang bernama Isa untuk berunding bagaimana caranya untuk menghancurkan kekejian juragan Musa.

Tak begitu lama ketiga penjual singkong itu pergi datanglah juragan Musa dengan aktentas dan tongkat yang selalu dibawa kemanapun ia pergi. Seperti biasa ia datang untuk meyuruh Ranta mencuri bibit karet lagi. Awalnya tidak ada jawaban. Akhirnya Ranta muncul dengan geramnya menghadapi juragan Musa.
Perlawanan dari Ranta membuat juragan Musa lari tunggang kanggang sampai aktentas dan tongkatnya jatuh. Ia tersungkur diatas tanah. Ketiga pemikul singkong itu kembali dan mulai berdiskusi mau diapakan aktentas dan tongkat itu. Lama mereka berunding dan menghasilkan keputusan untuk memberikan aktentas tersebut sebagai barang bukti penangkapan juragan Musa. Ranta, Ireng, dan ketiga penmikul singkong, mereka pergi bersama-sama menghadap komandan.

Juragan Musa menyuruh anak buahnya untuk menghabisi Ranta dan mengambil aktentas dan tongkat yang tertinggal. Bila perlu bakar saja rumahnya. Tapi tindakan juragan musa terlambat karena Ranta dan yang lain sudah sampai di markas komandan. Komandan pun juga sudah menyusun rencana penangkapan Juragan Musa. (Watik)

Diolah dari:
Sekali Peristiwa di Banten Selatan
Pramoedya Ananta Toer

Berita

Kerusuhan ‘DI’ berakhir, Warga Arep Tangi pun bangkit

Kerusuhan yang terjadi di wilayah Banten Selatan kini sudah menemukan titik cerah. Upaya penangkapan dalang dari kerusuhan dan penindasan terhadap warga Kelurahan Arep Tangi akhirnya dapat berjalan dengan baik. Komandan dan gerombolan prajurit meringkus Juragan Musa (40 thn) pada Rabu (15/10) malam di kediamannya di desa Arep tangi, setelah terbukti terlibat sebagai dalang kerusuhan dengan bendera Darul Islam (DI) yang selama ini menikam rakyat.

Penangkapan terhadap Juragan Musa itu kemudian disusul dengan penangkapan anggota-anggota pemberontak yang tergabung dalam sindikat pemberontak Darul Islam. Penangkapan ini menjadi akhir dari pencarian aparat keamanan selama kurang lebih 8 tahun yang dahulu nyaris tanpa hasil. Terbongkarnya sindikat ini didasarkan dari informasi seorang warga setempat yang juga menjadi korban.

“Kami memang kesulitan menangkap pelaku kerusuhan ini karena tidak ada bukti yang jelas, tetapi akhirnya kami mendapat informasi dari seorang korban beserta bukti berkas-berkas terkait kerusuhan DI yang sudah lama melanda kelurahan ini. Bukti-bukti ini menjadi acuan kami untuk mengadakan penyelidikan dan akhirnya menangkap oknum kejahatan tersebut” ungkap Komandan.

Tidak berhenti sampai disitu, ternyata aparat pemerintahan desa seperti Lurahpun juga terbukti terlibat dalam sindikat kerusuhan DI. Karena keterlibatan itu, maka Komandan mengambil tindakan untuk menempatkan Lurah sementara dari warga setempat.

Akibat perbuatan mereka itu, tidak hanya bangunan desa seperti pasar, kebun, rumah warga yang porak-poranda setelah di obrak-abrik oleh sindikat DI. Mereka juga melakukan tindakan kriminal yang merugikan masyarakat, seperti aksi-aksi kekerasan. Warga dipaksa hidup dalam ketakutan, terselubung dalam kemiskinan dan tidak berdaya.

Warga desa Arep Tangi saat ini terlihat mulai bangkit. Mereka mulai bergotog-royong memperbaiki fasilitas-fasilitas desa seperti jalan, pasar , serta membuka lagi saluran air untuk kebutuhan irigasi sawah dan kebun yang selama ini dikuasai oleh juragan-juragan tertentu saja. Mereka bahu-membahu membuat waduk untuk pemeliharaan ikan dan membuka perladangan untuk menanam duren dan kelapa untuk kebutuhan bersama. Warga desa yang sebagian besar hanya mengenal pacul dan sawah inipun juga telah tergerak untuk memulai mengenal baca tulis untuk kebutuhan masa depan.

Saat diwawancarai mengenai pembangunan desa, Ranta (39 thn) selaku Lurah sementara menjawab,
“ Kami memang sudah mulai bertekad untuk memperjuangkan kehidupan yang sejahtera, melawan kemiskinan dan keterpurukan kami selama ini melalui gotong royong membangun desa, karena tanpa sumbangsih kita bersama, sekalipun nasib akan memberi kita umur tiga kali lipat dari semestinya keadaan akan tetap beku, karena segalanya mesti diperjuangkan”.
Itulah suara yang mewakili warga desa Arep Tangi sebagai wujud rasa syukur karena terlepas dari cengkeraman pemberontak. (Saneri)

Naskah Drama
ADEGAN 1
Suatu sore yang amat mendung. Sebuah gubug yang terletak di kaki gunung di desa Arep tangi tampak gelap dan sunyi. Hanya terdengar suara gemericik air kali dari kaki gunung dan suara burung. Tinggi gubuk yang dihuni ranta dan istrinya ini tidak lebih dari dua meter. Letaknya membelakangi sebuah bukit yang belum pernah digarap manusia. Pohon-pohon raksasa tumbuh dengan liarnya disertai semak-semak padat dibawahnya.
Ranta : (sambil mengetok pintu)
Reng, Ireng! Reng!!!
(Tidak terdengar jawaban, ranta akhirnya duduk di bale depan gubuknya. Dari kejauhan irengpun datang menghampiri ranta)
Ireng : Sudah pulang pak?
Ranta : Iya ( sambil terlihat mengeluh)
Ireng : Kenapa? Tidak ada hasil?
Ranta : Samasekali ga ada bu. O ya, gimana tadi dipasar?
Ireng : (tampak menahan lelah) Pasar kacau balau pak, diobrak-abrik DI.
Ranta :Ya ampun, gimana kita bisa pergi ke kota, nengok si Agil di rumah sakit, kalau kita tak punya apa-apa begini bu?
Ireng : (sambil mulai berkaca-kaca) Aku bingung pak. Aku ga mau kehilangan anak untuk ketiga kalinya. Tapi kalo kaya gini terus, si agil bisa ikut ga ada pak.
Ranta :Ya udah, Bu. nanti kita pikirkan lagi. Kita masuk dulu,ada yang ingin kubicarakan.
Ireng : (Ireng membukakan pintu dan masuk bersama Ranta)

(Di dalam rumah, sambil duduk di ambin dibawah cahaya damar atau lampu minyak, ranta menceritakan sesuatu kepada istrinya )

Ranta : Begini, Bu. Tadi aku ketemu Juragan Musa. Malam ini aku akan berangkat mengambil biji karet lagi sesuai dengan perintah juragan. Dia hanya memberiku ini. (sambil mengulurkan selembar uang)
Ireng : Seringgit?? Kalo aku laki-laki, sudah kutekuk batang lehernya. Kau yang selama ini baik dipaksa menjadi pencuri terus-menerus. Aku tak rela pak.
Ranta : (Sambil memegang tangan Ireng) Dengar Reng, aku memang sering nyolong tapi bukan karena kemauanku aku jadi maling. Ada waktunya, kita akan hidup baik dan senang. Sekarang in mereka yag tentuka hidup kita. Mereka!!
Ireng : Mereka siapa? Mereka siapa pak? (sambil memelas)
Ranta : Mereka yang datang pada kita hanya menyuruh kita menjadi maling. Mereka yang hidup memisah dari kita. Mereka, yang di dalam otanya cuma ada pikiran mau memangsa sesamanya. Mereka!!! (Sambil mengangkat tangan dengan telunjuk yang tak jelas arahnya)
Ireng : (Sambil menangis rintih) Cukup pak, Cukup..kumohon jangan pergi.
Ranta : ( Sambil berjalan menuju pintu) Doakan aku Reng, aku harus pergi sekarang.

(Ranta pun berjalan keluar dan menutup pintu, sementara Ireng tetap terduduk di atas ambin tak berdaya)

Tinjauan Buku

Sekali peristiwa di Banten Selatan
Pramoedya Ananta Toer

Sejak pertama saya sebenarnya berminat membaca buku ini. Tapi kurang mengerti dengan bahasanya. Lagian saya juga memang jarang baca buku-buku berat selain komik tentang kartun atau cerita lucu. Saya juga tidak pernah menulis resensi atau sejenisnya karena saya hanya belajar menulis di kelas bahasa Indonesia di sanggar. Kebetulan saya juga tidak sekolah formal.

Bbuku yang saya baca ini menceritakan tentang ada sebuah keluarga dengan kepala keluarga bernama Ranta dan istrinya Ireng. Dia keluarga yang miskin. Karena kemiskinan tersebut, Ranta dipaksa menjadi maling suruhan Juragan Musa.

Saat melakukan perintah Juragan Musa untuk mencuri bibit karet, bukannya mendapat upah, Ranta justru babak belur karena tertangkap oleh penjaga ladang karet juragan Musa. Juragan Musa sengaja menyuruh ranta menjadi pencuri supaya dia dapat mengeluarkan Ranta tanpa membayar gaji selama bekerja di ladang karetnya.

Kemudia di suatu hari setelah kejadian itu, juragan musa kembali mendatangi Ranta. Rantapun menunjukan rasa marah hingga membuat juragan musa pergi ketakutan. Saat dia lari, tas dan tongkatnya tertinggal didepan rumah Ranta. Dalam tas itu ada barang bukti bahwa juragan Musa selama ini bekerja sama dengan rombongan DI atau darul islam yang merusak kampung. Kemudian ranta menyerahkan tas tersebut kepada Komandan. Akhirnya juragan musa tertangkap dari bukti-bukti dalam tas milik jurangan.

Karena kejadian itu, Ranta diangkat jadi lurah. Kemudian warga bekerjasama membangun desa dan belajar baca tulis. (Sania)

Tinjauan Buku

Judul : Sekali Peristiwa di Banten Selatan
Pengarang : Pramoedia Ananata Toer
Penerbit : Lentera Dipantara

Saya memang tidak membaca keseluruhan. Saya hanya membaca penuh pada bab pertama dan terakhir. Bab-bab yang lain dibaca dengan loncat-loncat. Dengan itu saya berusaha menyimpulan cerita dalam buku ini.

Buku ini bercerita tentang peristiwa di sebuah kampung yang kaya akan sumber daya alam tapi masyarakatnya miskin. Mereka kesulitan untuk bekerja karena banyaknya kerusuhan-kerusuhan yang disebabkan oleh pemberontakan Darul Islan (DI). Kampung yang sebagian besar penduduknya hidup dari lahan pertanian ini selalu diselimuti rasa ketakutan dan tidak berdaya.

Salah seorang warga yang juga sering menjadi korban ketidakberdayaan ini ialah Ranta. Dia sering dipaksa menjadi maling bibit karet oleh juragan Musa yang sebenarnya terlibat juga dalam persekutuan DI.

Akibat kerusuhan itu, rumah-rumah penduduk dan pasar menjadi rusak. Hingga akhirnya kerusuhan ini berakhir karena tertangkapnya Juragan Musa sebagai otak persekutuan DI dengan bukti yang ditemukan Ranta pada tas Juragan musa yang tertinggal di depan rumahnya. Setelah itu, rantapun diangkat menjadi Lurah.

Nah, gimana prosesnya? Terus gimana nasib desa selanjutnya, baca aja buku ini. (Eta)

MENGENAL PENDIDIKAN ANAK PINGGIRAN

Dunia Anak - Liputan Khusus

KOMPAS, Selasa, 24-07-2001.

KEPERCAYAAN Heru Yuli Pambudi (17) pada sistem di sekolah formal
sudah lama pupus. "Sistem itu membuat kotak-kotak dan jenjang
kemampuan, dan memenjarakan kita ke dalam cara berpikir yang sudah
ditentukan." Heru melanjutkan, "Pendidikan formal yang pernah saya
ikuti tidak pernah memenuhi apa yang diingini seorang anak. Guru di
kelas lebih banyak menjejalkan apa yang sudah dipaketkan daripada
mengajak kita bicara dan memahami bagaimana situasi murid."

Lebih jauh lagi, "Kita tidak bisa mendebat pendapat guru, karena
beradu argumentasi selalu diartikan melawan. Di kelas, guru selalu
benar," ujar Heru. Tak cuma itu. "Dunia pendidikan formal di kelas
tidak mengajar anak memahami satu sama lain, sehingga kita menjadi
asing satu sama lain. Tidak ada model solidaritas di sini, dan sulit
untuk membentuk solidaritas karena sudah ada kotak-kotak itu," tegas
anak pertama dari empat bersaudara itu.

Heru menyebut bentuk-bentuk diskriminasi sudah tampak dari
pengistilahan yang dibuat entah oleh siapa, seperti "sekolah
unggulan". Menurut Heru, "Kalau ada sekolah unggulan, pasti ada
sekolah buangan. Sekolah unggulan juga pasti mengacu pada semua yang
serba unggul, ya kecerdasan, ya ekonomi orangtua. Lalu yang buangan
ya sekolah yang isinya anak-anak seperti kami ini, anak-anak miskin
yang bayar sekolah saja susah."

Apa yang dikemukakan Heru tidak bisa dilihat sebagai sikap
antipati terhadap dunia pendidikan formal. Heru adalah satu dari
jutaan anak yang terlempar dari dunia pendidikan formal karena
situasi sosial ekonomi yang dihadapi orangtuanya, yang kemudian
mengimbas pada perkembangan pemikiran dan sikapnya.

Jalanan yang menjadi tempatnya bertumbuh selama dua tahun
mengajarinya hal lain yang digelutinya selama di ruang kelas di
bangku sekolah formal. Upaya mempertahankan hidup tidak terjawab oleh
apa yang ia dapatkan di ruang kelas. Di antara derum mobil,
kebisingan, caci maki, rasa curiga, dan kebencian, ia menyimpan
segudang pertanyaan kritis mengenai apa dan siapa dirinya; mengapa
dan bagaimana ia sampai pada kehidupan seperti itu.

***
"SAYA beruntung menemukan komunitas teman senasib di sanggar,"
lanjutnya. Saat ini Heru adalah Koordinator Sanggar Akar, suatu media
di tingat komunitas basis.

Sanggar Akar yang berdiri enam tahun lalu sebagai bagian dari
basis komunitas Biro Advokasi Anak Institut Sosial Jakarta, saat ini
berdiri sendiri dan mengembangkan model pendidikan alternatif untuk
komunitas anak pinggiran; suatu model yang samasekali lain dari apa
yang selama ini mendominasi wacana berpikir mengenai pendidikan.

Istilah "anak pinggiran" belum banyak dipahami karena orang
terbiasa mendengar atau menggunakan istilah atau kategori yang
bersifat fungsional seperti "anak jalanan", "pekerja anak" atau "anak
telantar" untuk menyebut kelompok anak-anak yang hidup dalam kondisi
lingkungan yang kurang wajar.

Padahal, seperti dikemukakan penanggung jawab Sanggar Akar, Ibe
Karyanto, substansi atau akar persoalan tidak tercakup dalam kategori
yang bersifat fungsional itu. Kata pinggiran, menunjuk pada kondisi
akibat dari pola kebijakan pemerintah dan tatanan masyarakat yang
tidak adil itu. Pinggiran juga mengacu pada proses pembangunan yang
menjauhkan anak dari hak-hak dasarnya yang mencakup hak kelangsungan
hidup, hak untuk berkembang, hak untuk memperoleh perlindungan dan
hak untuk berpartisipasi.

Dengan demikian, dalam istilah "anak pinggiran" dikandung maksud
yang lebih substantif menyangkut ketidakadilan yang dilakukan
pemerintah dan masyarakat umum, yakni ketidakadilan struktural,
kultural dan tindakan represi fisik.

Selama bertahun-tahun dominasi dibangun dari kerangka berpikir
penguasa yang cenderung mengambil jarak dengan persoalan dalam
masyarakat. Ibe menegaskan, kekuasaan pula yang menanamkan pemahaman
bahwa kondisi buruk yang ditanggung anak-anak pinggiran merupakan
keniscayaan, yang tidak terkait dengan kebijakan di tingkat makro
yang diputuskan segelintir elite politik, teknokrat, dan birokrat.

"Ini diperlihatkan dengan jelas oleh Pak X," Ibe menyebut seorang
pejabat kantor Menko Kesra (pada masa Orde Baru), "Dalam Konferensi
Regional Pertama tentang Anak Jalanan di Filipina tahun 1989 Pak X
mengatakan bahwa perilaku dan keberadaan anak-anak jalanan merupakan
penyimpangan sosial atau social disfunction."

Penggunaan kata "penyimpangan" itu secara jelas menunjukkan sikap
diskriminatif. "Pemerintah tidak melihat bagaimana dan mengapa
anak-anak sampai berada di jalanan, tetapi dari posisi norma tata
sosial ideal yang diberlakukan dan diterima oleh keluarga yang mapan
dan berkecukupan," sambung Ibe.

Cara pandang seperti ini tidak berubah, sekali pun Indonesia
telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990. Bahkan RUU
Perlindungan Anak pun masih menggunakan istilah "anak bermasalah".

***
HERU, menurut Ibe, bergabung dengan komunitas Sanggar Akar
sekitar tiga tahun yang lalu, saat masih bekerja di jalanan. "Ia
sebenarnya sempat melanjutkan ke STM, dua kali pindah, tetapi
semuanya tidak bertahan lama," papar Ibe. "Ia memutuskan sendiri
untuk tidak sekolah karena merasa ada sesuatu yang lebih bisa ia
kembangkan di luar sekolah."

"Saya bilang kalau maunya begitu, ia harus tahu bahwa ia tidak
akan bisa bekerja di perusahaan atau di kantor karena lembaga-lembaga
itu membutuhkan ijazah dari sekolah formal," lanjut Ibe, "Saya juga
bilang, 'kamu harus bisa menjadi orang yang lebih dari para pencari
kerja itu. Kamu harus mampu menciptakan peluang bagi orang lain agar
mereka bisa bekerja'," Ibe menirukan pertimbangan yang ia ajukan
kepada Heru agar anak itu tahu tujuannya kemudian. Heru adalah
contoh paling tepat dari apa yang disinyalir oleh Laporan Unicef
(Dana PBB untuk Anak) tahun 1995. Dalam laporan itu disebutkan, tiga
faktor utama yang mendorong anak-anak meninggalkan bangku sekolah dan
bekerja pada usia yang dini adalah kemiskinan, pendidikan yang tidak
relevan, dan tradisi.

Kemiskinan dalam arti luas-tidak hanya ekonomi-mendorong anak
meninggalkan rumah dan memasuki lingkungan kegiatan yang
membahayakan. Jumlah anak yang dieksploitasi terus meningkat 15 tahun
terakhir seiring perkembangan kebijakan ekonomi dan moneter
internasional akibat utang, korupsi, dan krisis moneter di banyak
negara berkembang.

Program Penyesuaian Struktural (SAP), persyaratan "bantuan" Dana
Moneter Internasional (IMF), yang katanya akan "menyembuhkan" ekonomi
yang sakit di negara berkembang berarti pemotongan alokasi belanja
untuk kesejahteraan sosial yang dibutuhkan kaum miskin.

Pemotongan dana untuk kesejahteraan sosial ini juga merupakan
pukulan yang berat terhadap pendidikan, yang diyakini merupakan
alternatif mengatasi persoalan anak-anak yang bekerja di wilayah yang
membahayakan perkembangan fisik dan jiwanya. Di negara-negara yang
mengalami kesulitan ekonomi 10 tahun terakhir, dana pendidikan,
khususnya pendidikan dasar, menurun drastis, sampai 30 persen.

Sementara itu, sistem pendidikan pada banyak negara berkembang
terlalu kaku dan tidak memberikan inspirasi. Kurikulumnya tidak
relevan dan jauh dari realitas sosial kehidupan anak.

Selain itu, tradisi dan pola sosial yang berurat akar juga
memainkan peranan dalam mendorong anak masuk ke lingkungan kerja yang
membahayakan. Lingkungan yang keras telanjur diyakini sebagai bagian
dari kehidupan kaum miskin, kelas rendah dan minoritas.
***

"PERCAYA enggak kalau 'niat' ini boleh dikatakan karya dari
Sandy yang hanya lulus SD," ujar Heru memperlihatkan tabloid 12
halaman yang rubrik-rubriknya dinamai dengan kreatif.

"Sandy sendiri yang mengumpulkan bahan, ikut mengedit, membuat
lay out dan membawanya ke percetakan. Saya yakin anak lulus SMP pun
belum tentu bisa melakukan ini," lanjut Heru, "Model pendidikan di
sini membuat anak bisa mengeksplorasi apa yang ia miliki."

Beberapa dari 20-an anak yang saat ini aktif di Sanggar Akar,
sampai empat tahun lalu masih bisa dijumpai di jalanan. Gendut, yang
sekarang bertanggung jawab pada salah satu bidang kerja di sanggar,
sejak usia sembilan tahun berada di jalanan. Ia berasal dari Tegal.
Lalu ada Joni dari Medan, Prei dari Semarang, Openg dari Palembang,
dan Pian dari Jakarta. Selama bertahun-tahun anak-anak itu
menggelandang dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu kota ke
kota lain, mereguk kebebasan sekaligus bahaya kehidupan jalanan.
Usia mereka sebaya. Selain anak-anak ini, juga banyak anak-anak yang
berada di jalanan, tetapi masih pulang ke rumah orangtuanya.

Latar belakang yang berlainan yang mempengaruhi gaya hidup ini
membuat komunitas anak pinggiran itu, meski pun berada pada satu
strata yang sama, namun Ibe dan kawan-kawannya mengamati, dalam skala
kecil selalu terjadi kompetisi; yang satu merasa lebih dibandingkan
yang lainnya. Perseteruan ini membuat jebakan pada arus pemikiran
yang mengkotak-kotakkan dan merupakan gejala permukaan dari model
sistem fragmentasi masyarakat.

"Kami kemudian berupaya menyatukan kelompok anak-anak itu," jelas
Ibe. "Tujuannya bukan untuk menyeragamkan mereka, tetapi mengajak
anak-anak secara bersama-sama belajar untuk mengerti substansi
persoalan yang dihadapi, yakni proses dehumanisasi."

Visi gerakan pendidikan ini berangkat dari refleksi atas
pengalaman aktual keterlibatan, compassion pada ketidakadilan yang
dihadapi, sekaligus harapan yang ingin dibangun sebagai dimensi masa
depan. "Kenyataan penderitaan anak-anak ini mengundang compassion,
keterlibatan mereka memberikan pengalaman, pengalaman melahirkan
kesadaran baru yang membangkitkan harapan pembebasan, cita-cita dunia
yang lebih baik," papar Ibe.

Mengutip Paulo Freire, tokoh pendidik dari Brasil, Ibe menyakini
bahwa proses lahirnya kesadaran akan pembebasan hanya mungkin
terwujud kalau refleksi sungguh-sungguh diposisikan sejajar dengan
seluruh aktivitas dalam gerakan keterlibatan.

Dengan demikian, misi keterlibatan merupakan sesuatu yang
menunjukkan tindakan atau proses. "Dalam konteks ini, Sanggar
menempatkan misi sebagai tindakan untuk membuka ruang dan memberikan
peluang bagi anak-anak untuk menjadi bagian dari kelompok masyarakat
yang terlibat dalam proses pembebasan, yaitu membangun sebuah dunia
yang lebih baik," ujarnya.

Karena itu, dalam kampanye perlindungan hak anak, terutama pada
gerakan pendidikan untuk anak pinggiran, tidak mengiba, atau
mengharapkan belas kasihan dengan mengedepankan penderitaan anak-
anak, tetapi lebih diarahkan pada model publikasi hasil dari tahapan
sebuah proses yang sedang berjalan.

***
DI Sanggar ini, jangan heran kalau anak-anak seusia 10-12 tahun
telah mampu berpikir kritis. Atin, kelas VI SD dan adiknya Nina,
kelas V, bisa membuat perbandingan antara film Heaven (Iran), Not One
Less (Cina), dan Petualangan Sherina (Indonesia).

Ini baru salah satunya. Seluruh materi seperti sejarah,
matematika, bahasa, lingkungan hidup yang disusun bersama sahabat
Sanggar Akar, seperti Hilman Faried, John Roosa, Razif dari Jaringan
Kerja Budaya, memang diarahkan untuk mencapai tujuan yang lebih luas,
seperti tanggung jawab pribadi, usaha mandiri, dan kreatif; tanggung
jawab sosial menyangkut kepekaan sosial, serta sumbangan pada
pengembangan masyarakat; dan tanggung jawab pada alam.

Seluruh mata pelajaran juga ditujukan untuk mengasah kekritisan
anak; termasuk dalam membaca buku pelajaran. Di antara para relawan
pengajar terdapat pematung terkemuka, Dolorosa Sinaga.

Prinsip hubungan guru-murid adalah keterbukaan dan kesetaraan,
karena gerakan pendidikan ini menolak prinsip anak sebagai tabula
rasa yang diperkenalkan oleh John Locke. Selama belajar, anak tetap
merupakan individu bebas, tetapi bukan tanpa disiplin. Di dalam
kelas, yang berlaku bukan disiplin yang kaku, tetapi semacam
tutorial. Orientasinya bukan ketaatan, tetapi pada komitmen. Disiplin
seperti ini diyakini akan mendorong motivasi dan kesadaran belajar.
Tak hanya diterapkan pada anak, tetapi juga guru.

"Dalam gerakan ini pendidikan merupakan sebuah proses. Anak-anak
dan kami akan terus berproses, berkembang dan kami berharap gerakan
ini akan menjadi milik publik," ujar Ibe. (mh)

ANAK PINGGIRAN BUKAN ANAK PENGIBA

KOMPAS, Kamis, 13-05-1999.

JANGAN lagi pakai istilah anak jalanan, kalau Anda tak ingin
diumpat. Sebab "anak jalanan" kini punya konotasi "anak yang berada
di jalan" untuk mengemis, mengiba-iba dengan ecrek-ecrek tutup botol,
yang perlu dikhotbahi oleh Rano Karno "boleh kerja di jalan asal tetap
sekolah". Yang oleh Depsos dan pemda dianggap perlu ditertibkan di
rumah singgah atau pesantren.

Ada pula yang melabel anak jalanan sebagai "teroris" di perempatan
jalan, yang jika tidak dikasih duit maka mobil Anda dicoret paku.
Malah
ada yang bikin generalisasi bahwa pencongkel kaca spion mobil mewah
adalah anak jalanan.

Tidak semua anak jalanan adalah pengemis atau teroris. Yayasan
Anak Merdeka di Bandung pimpinan Nugroho GPH terbukti berhasil
mengajak anak-anak jalanan untuk melukis dan membuat kerajinan serta
menerbitkan tabloid Bebas yang mereka kelola dan isi sendiri.

Begitu pula dengan Yayasan Lembaga Pengkajian Sosial (YLPS) Humana
alias "Girli" di Yogyakarta pimpinan A Didit Adidananta yang tidak
mengindoktrinasi anak-anak jalanan untuk jadi anak "baik-baik"
dan "normal", namun malah membebaskan mereka berkreasi dan
berekspresi. Majalah Jejal yang mereka terbitkan mencerminkan filosofi
calistung (pemberantasan buta kemampuan dasar) yang sifatnya
partisipatif. Beberapa anak "Girli" malah jadi bintang film dan
bermain dengan prima di film Daun di Atas Bantal.

Bandingkan pula dengan anak-anak yang tergabung dalam Sanggar
Anak akar Institut Sosial Jakarta (ISJ), yang serius belajar main
gitar, rebana, menyanyi dan tampil berteater. Mereka ini lebih bangga
menyebut diri sebagai "anak pinggiran", karena selain ada yang memang
benar-benar "berprofesi" sebagai anak jalanan, ada pula anak
perkampungan kumuh dan dari keluarga miskin.

Panggilan "anak pinggiran" lebih menyiratkan cibiran kepada mereka
yang berpunya dan berkuasa karena mereka inilah yang biasa
meminggirkan
anak-anak yang kurang beruntung. Anak pinggiran bukanlah anak pengiba-
iba yang mengharap belas kasihan atau yang cuma meratapi nasib jika
kena penertiban aparat.

Inilah metamorfosis yang dialami Ibe Karyanto, pengasuh Sanggar
Anak akar. Empat tahun lalu ketika ia mementaskan karyanya, operet
Nyanyian Ranting Kering, lagu-lagunya bernada sendu dan masih pakai
kata "anak jalanan" yang mengharapkan untuk dipahami, sementara pada
pementasan Muka-muka di Kaca hari Selasa (11/5) lagu-lagunya lebih
gagah, tegar dan sarat dengan elan vitalea "anak pinggiran". Keduanya
dipentaskan di tempat terhormat, yaitu di Graha Bakti Budaya Taman
Ismail Marzuki (TIM).

Dengar saja lagu Anak Pinggiran yang juga menjadi judul kaset
lagu-lagu pengisi Muka-muka di Kaca: Inilah cerita anak
pinggiran/menggenggam sebuah harapan/tegar niatnya menantang isi
kota/ingin wujudkan cita-citanya/tak pernah takut dan tak pernah
surut/walau dikurung duka/hidup ceria walau orang suka
menyingkirkannya.
***

MENYAKSIKAN pementasan Atin, Dini, Kris, Sugi, Ucil, dan
kawan-kawannya yang kebanyakan masih kelas tiga sampai lima SD,
sungguh berbeda dengan menonton video klip Joshua yang begitu
artifisial dan komersial. Anak-anak Sanggar akar ini lebih lugu dan
alami. Atin misalnya, tak merasa sungkan untuk menggaruk kaki yang
gatal karena gigitan nyamuk atau menyerahkan mikrofon ke temannya
karena ia sudah kecapaian. Mereka juga mengakui bahwa mereka terkadang
tak mengerti pada sebagian lirik lagu-lagu yang mereka nyanyikan.

Berbeda dengan penampilan anak-anak yang lebih spontan dan
lantang, para pemain dewasa yang mendukung Muka-muka di Kaca justru
agak kedodoran akting dan vokalnya. Tema cerita yang menokohkan
pejabat kaya-raya Hartono dan istrinya yang suka foya-foya, terkesan
agak "hitam-putih". Simak saja lagu Ciptaan yang dinyanyikan Atin dan
kawan-kawannya: Kami bukan yang paling benar/kami juga manusia yang
sama/hanya karna tak punya kuasa/jadilah kami selalu dimangsa.

Betapapun, anak-anak pinggiran asuhan ISJ telah menunjukkan
dengan bernyanyi dan berpentas mereka meraih lagi percaya diri dan
martabat. Sebagai anak-anak pinggiran pun mereka berhak ikut memiliki
dan mewarisi negeri ini. Ini tercermin pada tekad mereka lewat lagu
Saatnya Kami Bicara: Tetapi aku takkan sekalipun/merunduk tunduk dan
mengalah pada duka/saatnya pastikan tiba/aku harus bicara/tuk merebut
semua milikku.

Mudah-mudahan tidak ada pejabat yang lantas mewaspadai karya
sanggar ISJ ini berbau marhaenis, apalagi Marxis... (ij)

ANAK PINGGIRAN BUKAN ANAK PENGIBA


KOMPAS, Kamis, 13-05-1999.

JANGAN lagi pakai istilah anak jalanan, kalau Anda tak ingin
diumpat. Sebab "anak jalanan" kini punya konotasi "anak yang berada
di jalan" untuk mengemis, mengiba-iba dengan ecrek-ecrek tutup botol,
yang perlu dikhotbahi oleh Rano Karno "boleh kerja di jalan asal tetap
sekolah". Yang oleh Depsos dan pemda dianggap perlu ditertibkan di
rumah singgah atau pesantren.

Ada pula yang melabel anak jalanan sebagai "teroris" di perempatan
jalan, yang jika tidak dikasih duit maka mobil Anda dicoret paku.
Malah
ada yang bikin generalisasi bahwa pencongkel kaca spion mobil mewah
adalah anak jalanan.

Tidak semua anak jalanan adalah pengemis atau teroris. Yayasan
Anak Merdeka di Bandung pimpinan Nugroho GPH terbukti berhasil
mengajak anak-anak jalanan untuk melukis dan membuat kerajinan serta
menerbitkan tabloid Bebas yang mereka kelola dan isi sendiri.

Begitu pula dengan Yayasan Lembaga Pengkajian Sosial (YLPS) Humana
alias "Girli" di Yogyakarta pimpinan A Didit Adidananta yang tidak
mengindoktrinasi anak-anak jalanan untuk jadi anak "baik-baik"
dan "normal", namun malah membebaskan mereka berkreasi dan
berekspresi. Majalah Jejal yang mereka terbitkan mencerminkan filosofi
calistung (pemberantasan buta kemampuan dasar) yang sifatnya
partisipatif. Beberapa anak "Girli" malah jadi bintang film dan
bermain dengan prima di film Daun di Atas Bantal.

Bandingkan pula dengan anak-anak yang tergabung dalam Sanggar
Anak akar Institut Sosial Jakarta (ISJ), yang serius belajar main
gitar, rebana, menyanyi dan tampil berteater. Mereka ini lebih bangga
menyebut diri sebagai "anak pinggiran", karena selain ada yang memang
benar-benar "berprofesi" sebagai anak jalanan, ada pula anak
perkampungan kumuh dan dari keluarga miskin.

Panggilan "anak pinggiran" lebih menyiratkan cibiran kepada mereka
yang berpunya dan berkuasa karena mereka inilah yang biasa
meminggirkan
anak-anak yang kurang beruntung. Anak pinggiran bukanlah anak pengiba-
iba yang mengharap belas kasihan atau yang cuma meratapi nasib jika
kena penertiban aparat.

Inilah metamorfosis yang dialami Ibe Karyanto, pengasuh Sanggar
Anak akar. Empat tahun lalu ketika ia mementaskan karyanya, operet
Nyanyian Ranting Kering, lagu-lagunya bernada sendu dan masih pakai
kata "anak jalanan" yang mengharapkan untuk dipahami, sementara pada
pementasan Muka-muka di Kaca hari Selasa (11/5) lagu-lagunya lebih
gagah, tegar dan sarat dengan elan vitalea "anak pinggiran". Keduanya
dipentaskan di tempat terhormat, yaitu di Graha Bakti Budaya Taman
Ismail Marzuki (TIM).

Dengar saja lagu Anak Pinggiran yang juga menjadi judul kaset
lagu-lagu pengisi Muka-muka di Kaca: Inilah cerita anak
pinggiran/menggenggam sebuah harapan/tegar niatnya menantang isi
kota/ingin wujudkan cita-citanya/tak pernah takut dan tak pernah
surut/walau dikurung duka/hidup ceria walau orang suka
menyingkirkannya.
***

MENYAKSIKAN pementasan Atin, Dini, Kris, Sugi, Ucil, dan
kawan-kawannya yang kebanyakan masih kelas tiga sampai lima SD,
sungguh berbeda dengan menonton video klip Joshua yang begitu
artifisial dan komersial. Anak-anak Sanggar akar ini lebih lugu dan
alami. Atin misalnya, tak merasa sungkan untuk menggaruk kaki yang
gatal karena gigitan nyamuk atau menyerahkan mikrofon ke temannya
karena ia sudah kecapaian. Mereka juga mengakui bahwa mereka terkadang
tak mengerti pada sebagian lirik lagu-lagu yang mereka nyanyikan.

Berbeda dengan penampilan anak-anak yang lebih spontan dan
lantang, para pemain dewasa yang mendukung Muka-muka di Kaca justru
agak kedodoran akting dan vokalnya. Tema cerita yang menokohkan
pejabat kaya-raya Hartono dan istrinya yang suka foya-foya, terkesan
agak "hitam-putih". Simak saja lagu Ciptaan yang dinyanyikan Atin dan
kawan-kawannya: Kami bukan yang paling benar/kami juga manusia yang
sama/hanya karna tak punya kuasa/jadilah kami selalu dimangsa.

Betapapun, anak-anak pinggiran asuhan ISJ telah menunjukkan
dengan bernyanyi dan berpentas mereka meraih lagi percaya diri dan
martabat. Sebagai anak-anak pinggiran pun mereka berhak ikut memiliki
dan mewarisi negeri ini. Ini tercermin pada tekad mereka lewat lagu
Saatnya Kami Bicara: Tetapi aku takkan sekalipun/merunduk tunduk dan
mengalah pada duka/saatnya pastikan tiba/aku harus bicara/tuk merebut
semua milikku.

Mudah-mudahan tidak ada pejabat yang lantas mewaspadai karya
sanggar ISJ ini berbau marhaenis, apalagi Marxis... (ij)

PENGORBANAN IBE UNTUK ANAK PINGGIRAN

KOMPAS, Senin, 30-08-2004.
MASA ketika anak-anak jalanan diperlakukan lebih buruk daripada
binatang telah lewat. Ketika Ibe Karyanto, 41 tahun, mulai hidup
bersama-sama anak-anak jalanan, pada saat itulah anak-anak itu
ditangkapi dari stasiun-stasiun kereta api. Mereka kemudian ditahan,
dipukuli, disetrum, disundut rokok, bahkan sampai diseterika. Belasan
tahun sudah Ibe hidup bersama mereka. Sampai hari ini ia memilih
tetap bersama mereka, hidup di rumah terbuka di pinggiran Kali
Malang, Jakarta Timur.

IBE melewatkan masa mudanya untuk anak-anak yang kurang
beruntung. Ketika kawan-kawan segenerasi Ibe sibuk berhitung dengan
masa depan, bekerja siang-malam demi karier, mengejar mimpi hidup
serba berkecukupan, Ibe membuat pilihannya sendiri.

Sampai sekarang ia tidak memiliki rumah. Ia tinggal di rumah yang
bisa ditempati anak-anak yang butuh tempat berteduh. Ruang pribadinya
hanyalah kamar di barak berdinding kayu bekas ia tinggal bersama
puluhan anak didiknya. Ia tidur di atas ranjang kecil dilapisi
selembar kasur tipis. Satu-satunya harta berharga yang dimilikinya
hanyalah sebuah mobil jip hardtop butut keluaran tahun 1974.

Ibe adalah orang di balik Sanggar Anak Akar, kumpulan anak
jalanan dan anak pinggiran yang sering muncul dalam pementasan musik
dan teater. Sejak awal Ibe menggunakan pendekatan kesenian untuk
mendidik anak-anaknya. Generasi pertama anak didiknya kini menjadi
andalan utama aktivitas sanggar. Bertolak dari kegiatan kesenian di
sanggar, tujuh anak didiknya kini belajar di perguruan tinggi. Ada
yang melanjutkan kuliah di bidang seni rupa, musik, desain, dan
bahasa Inggris. Grup musik Sanggar Anak Akar akan menguji
kebolehannya dalam panggung musik dalam konser di Graha Usmar Ismail
10-11 September mendatang.

Kedekatan dengan anak, pencapaian Sanggar Akar, dan prestasi anak-
anak didiknya itulah harta tak ternilai yang dia miliki. Ibe mengaku
sempat cemburu dengan kawan-kawannya yang berhasil menjadi pemimpin
puncak di perusahaan, hidup berkecukupan bersama anak-istri.

Selama bertahun-tahun Sanggar Akar berjalan melibatkan dukungan
banyak orang. Mereka menyumbang tenaga, uang, alat musik bekas,
sampai beras dan barang bekas, ambil bagian dalam proyek bersama
untuk anak-anak yang dimarjinalkan itu. Sejumlah program Sanggar Akar
didukung sejumlah lembaga dana, tetapi itu bukan yang utama.

Berkat dukungan berbagai pihak, Sanggar Akar kini memiliki lokasi
permanen setelah berhasil membeli tanah seluas 714 meter persegi
senilai Rp 580 juta. Tempat itu menampung tidak kurang 80 anak dengan
aktivitas hampir 24 jam. Malam hari merupakan saat sibuk, ketika anak-
anak bermain musik, teater, belajar menyablon, mematung, dan lain-
lain. Dengan tiga basis yang dimiliki, Sanggar Akar melibatkan tidak
kurang dari 200 anak yang selama ini dipinggirkan.

Pematung Dolorosa Sinaga, pemusik Arjuna Hutagalong, para seniman
dan pembuat film, guru, dan mahasiswa ikut bergabung menyumbangkan
keahlian yang mereka miliki untuk anak-anak Sanggar Akar.

PERGULATAN Ibe dengan anak-anak pinggiran diawali pada akhir masa
kuliahnya di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Saat itu, tahun
1988, ia bergabung menangani advokasi anak di Institut Sosial Jakarta
(ISJ) yang dipimpin Romo Sandyawan. Ia sempat meninggalkan dunia anak
jalanan ketika ditugaskan mengajar di Timor Timur selama satu
setengah tahun.

Di Timtim ia diberi tugas mengajar bahasa Indonesia di seminari
menengah. Ibe yang sejak SMA aktif bergiat dalam seni teater dan
sastra mencoba mengembangkan model pengajaran bahasa Indonesia dengan
ekspresi tulis dan lisan. Hasilnya adalah majalah dinding yang
menjadi ekspresi bebas anak-anak SMA itu, termasuk isu kemerdekaan
Timor Leste. Akibatnya, ia dipanggil penguasa militer, diminta
menghentikan penerbitan tersebut. Ibe akhirnya memilih meninggalkan
kota yang sarat nuansa politik, pindah ke Desa Soe Bada yang tidak
ada sekolahnya. "Saya mulai dengan mengajar 15 murid, menggunakan
bangunan sekolah yang sudah rusak dan tidak dipakai lagi," kata Ibe.

Awalnya anak-anak didiknya yang berumur 10-15 tahun menulis
tentang kebun kopi yang ditelantarkan. Warga tidak berani menjamah
daerah itu, takut dituduh bagian dari gerilyawan. Bertolak dari
tulisan itu, anak-anak terjun membersihkan kebun itu di pinggir-
pinggirnya. Inisiatif anak-anak itu bisa menggerakkan warga menggarap
kembali kebun kopi yang ditelantarkan itu. Dari situlah ia diyakinkan
bahwa pendidikan bisa mengubah dan menggerakkan sesuatu.

Sepulang dari Timor Timur, Ibe kembali bergabung dengan ISJ
menangani advokasi anak. Pada 1993 ISJ mulai membuat rumah terbuka
yang bisa menjadi tempat berteduh bagi anak jalanan itu. Sejak itulah
Ibe tinggal bersama anak-anak jalanan.

Saat ia mengurus seorang anak yang ditahan di kantor militer,
kekerasan terhadap anak sengaja ditunjukkan secara telanjang di
hadapannya. Seorang anak digelandang dari ruang tahanan ke ruang
interogasi hanya menggunakan celana dalam, sembari dipukuli dengan
sepotong kayu. Ibe malam itu ditahan. Tontonan kekerasan begitu
sering dia hadapi. Lewat tengah malam, seorang anak tiba-tiba
tersungkur di depan rumah dalam keadaan berlumuran darah karena
berkelahi dengan preman. Peristiwa-peristiwa itu membuat Ibe sulit
tidur, "penyakit" yang dialaminya sampai hari ini.

"Berbicara dengan anak yang menjadi korban besar khasiatnya untuk
menyembuhkan diri saya sendiri," kata Ibe.

KEKERASAN seperti itu kini jarang dia dengar. Ia tidak yakin
apakah bentuk kekerasan seperti itu tidak ada lagi karena kebanyakan
anak asuhnya sekarang ini tidak lagi berkeliaran di stasiun-stasiun
kereta api. Kini anak didiknya banyak berasal dari keluarga tidak
mampu yang tinggal di daerah kumuh.

Dalam mendidik, Ibe sempat melakukan kekeliruan dalam memberikan
teguran keras pada seorang anaknya di hadapan tamu. Pagi itu beberapa
anak didiknya pulang dalam keadaan mabuk, suatu pelanggaran terhadap
kesepakatan yang dibuat bersama. Anak-anak remaja itu langsung
disuruh mandi dan membersihkan diri.

Ibe meminta maaf dan mencoba menenangkan anak itu. Namun,
kemarahan anak itu menjadi-jadi saat diajak masuk ruangan. Dinding
dan almari dipukuli, kaca dipecah. Dengan potongan kaca terhunus ia
siap menyerang. Ibe masih mencoba menenangkan anak itu dan meminta
maaf, tetapi ia pasrah saat anak itu kalap. Ibe membuka baju, duduk
di atas meja, mengatakan ia tidak akan melayani berkelahi dan
mempersilakan anak itu membunuhnya bila belum puas dengan permintaan
maaf yang dia sampaikan.

"Anak itu menangis menjadi-jadi. Sejak itu saya belajar bahwa
saya harus selalu rendah hati. Tiap anak memiliki harga diri yang
tidak boleh dilecehkan dalam bentuk apa pun," tutur Ibe.

Sehari-hari Ibe mendampingi anak- anak sampai pukul 03.00, tanpa
hari libur, dari melatih teater, musik, mendampingi belajar, sampai
sekadar menyapa dan menjadi tempat berkeluh kesah. Meski tanpa harta
benda, tanpa tabungan hari tua, ia tidak cemas terhadap masa depannya.

"Merekalah keluarga saya. Setelah mereka tumbuh, akan ada yang
datang lagi. Saya akan tetap bersama mereka," kata Ibe. (P BAMBANG
WISUDO)

INDONESIA Marginalized Children Learn A Song That Helps Restore Their Dignity

Ucanews.com,July 28, 2004

JAKARTA (UCAN) -- Protecting, educating and supporting impoverished children is a major problem for many Asian countries, and a program started by Jesuits in Indonesia is doing something about it.

Since 2000, Sanggar Akar (roots workshop) has been an autonomous body providing education and support for marginalized children. It was founded in 1994 by Jesuit-run Jakarta Social Institute, and its leader, Ibe Karyanto, told UCA News about its work on July 23, National Children's Day.

Karyanto said he wrote a song, Suara Hati (voice of the heart), in 1995 "to urge people not to neglect their obligation when seeing the situation around them, and to take action after listening to their conscience."

Two young street singers, Unanng, 16, and Wahyudinata, 17, often sing that song. They work Jakarta's streets and stay in Sanggar Akar's main center in Cipinang Melayu, East Jakarta. Their earn about 30,000 rupiah (US$3.30) a day.

Unang says he sings Suara Hati not only for alms but also to "make people aware of their responsibility to care for unfortunate children." However, he also told UCA News that "singing the song makes me sad and brings memories of my Mama living alone in a village in Cirebon, West Java."

Sanggar Akar's main center houses 70 Muslim children, including 20 girls. More than 100 others stay in the organization's three branches around Jakarta. All those children, and at least 500 others who have stayed in the homes before, share one thing -- they can all sing Suara Hati.

Several told UCA News that Sanggar Akar has allowed them to grow as complete human beings, given them education and respected their dignity and needs. They said they not only go to school but also develop skills such as making school bags, sculpting, screen printing, cooking, singing and playing music.

Income received from selling handicrafts goes to the home, which in turn gives them meals, accommodation, money to send home, savings and pocket money.

Wandi, 8, said he is a street singer in the morning but attends school in the afternoon. Liciana, 16, who has lived in Sanggar Akar for six months, said that with her guitar playing and bag making, she can send money to her parents, who struggle to make a living as peddlers. Wati, 13, said she most likes going to school, which was impossible when she lived with her parents.

Karyanto insists education cannot be postponed for children, "the owners of the future." Sanggar Akar, he said, is run for marginalized children by concerned people and with the children's participation. In his view, an unjust social structure makes people "marginalized" and forces them to live on streets and in slums and public areas.

Sanggar Akar has three types of communities - its base community, a Sanggar community and networking. The base community, for elementary school children, promotes study group dynamics to help develop skills in reading, writing, counting and speaking. The Sanggar community, for elementary and secondary school children, develops teamwork and a sense of responsibility.

For the latter group, artistic activity, especially theater, is a main feature. The children perform a musical play for the public every year. They also organize household chores, publish a newsletter and maintain a library.

The networking community challenges the children to help build solidarity with surrounding communities and beyond. They learn networking by holding public events such as rummage sales and public campaigns.

Karyanto said people working for Sanggar Akar enroll children and youth by meeting them on the streets and in public places. Juprianto, a Sanggar Akar executive committee member, told UCA News that he must become one of them to approach them. He acknowledged that this can be dangerous, as evidenced one time when he was beaten up for entering the "territory" of someone else.

The theme of National Children's Day this year was "I Am Proud To Be An Indonesian Child." However, Catholic-run Kompas daily reported on July 24 that more than 50,000 children in 12 major Indonesian cities still live on the streets separated from their parents, and about 1.6 million children work in an exploitative environment. The country reportedly has 11.7 million school dropouts and only 50 percent of its children complete elementary school.

To mark the day, 6,000 children attended a celebration with President Megawati Soekarnoputri at Ancol Fantasy Park in North Jakarta. There, two children read a declaration urging the government to familiarize people with Law No. 23/2002 on child protection. Rallies taking place that day and the day before also urged the government to provide free education for children and to be more attentive to the rights of children, especially street children.

"BIARKAN KAMI DI JALANAN ..."

KOMPAS, Sabtu, 14-07-2001.

RATUSAN anak yang sehari-hari bergulat di jalanan, Kamis (12/7),
tenggelam dalam luapan kegembiraan. Anak-anak berusia enam sampai
belasan tahun itu berlarian, berkejar-kejaran, menjerit, tertawa, dan
saling mengancam. Sebagian membawa kaleng, gelas, botol penuh cat
warna-warni, sebagian lagi berburu dengan tangan berlumuran cat,
menangkap siapa saja yang ada di areal itu. Mereka saling mencoreng
badan, menyiram, bahkan mengguyurkan cat dari atas kepala sampai ke
ujung kaki.

"Ini acara yang paling menyenangkan. Saya senang mencorat-coret
kawan saya," kata Sisriyani (6), anak seorang pemulung dari Bantar
Gebang.

Mereka kemudian meneriakkan yel-yel ABG, memukul kaleng, tambur,
potongan bambu, atau benda apa saja yang bisa mengeluarkan bunyi.
ABG ternyata merupakan kependekan dari Anak Bantar Gebang, identitas
anak-anak yang hidup di areal pembuangan sampah terbesar di Bekasi.
Bersama rombongan anak-anak lainnya mereka berparade mengelilingi
areal perkemahan di Cibubur, membawa spanduk dan poster dari kardus
bekas.

Perkemahan anak jalanan yang diberi nama "Kampore" itu telah
menjadi acara tahunan bagi anak-anak jalanan di Jakarta dan
sekitarnya. Kegiatan yang diprakarsai oleh Sanggar Akar, rumah
singgah anak-anak jalanan di pinggir Kalimalang, Jakarta Timur,
tersebut pada tahun pertama hanya melibatkan puluhan anak dan selama
masa Orde Baru tidak pernah luput dari pengawasan intel. Selama tiga
hari perkemahan, mereka bermain, berdiskusi, adu keterampilan,
kemahiran dalam musik, dan ekspresi lainnya.

"Kali ini saya benar-benar bisa menikmati kegiatan ini. Hampir
95 persen acara ini dilaksanakan dan diorganisir oleh anak-anak
sendiri," tutur Ibe Karyanto, Koordinator Sanggar Akar. Ia pun tidak
luput dari guyuran cat. Mukanya hitam legam karena cat. Hanya gigi
dan matanya saja yang tinggal dalam warna aslinya.

Gagasan pesta cat itu muncul empat tahun lalu saat Kampore ke-6
di kawasan perkemahan Ragunan. Pada waktu itu, ketika anak-anak
diminta melukis dengan cat, mereka bahkan mengekspresikan diri dengan
mengecat tubuh mereka. Karena itu, aktivitas ini diambil alih oleh
penyelenggara dan menjadi acara rutin dalam tiga tahun terakhir,
dengan diberi makna bahwa semua anak jalanan adalah satu, termasuk
pendamping mereka.
***

USAI berparade, perwakilan anak-anak tampil di panggung. Dengan
muka tertutup cat dan tubuh coreng-moreng mereka berorasi. Seorang
anak menyerukan agar harga BBM jangan dinaikkan dengan alasan ibunya
memakai kompor untuk memasak. Anak lainnya meminta agar pemerintah
mencegah banjir yang selalu menerjang rumahnya, memberikan kebebasan
belajar dan bermain, membiarkan mereka bebas di jalanan. Banyak di
antara anak-anak itu yang menyuarakan keinginan Tramtib, institusi
keamanan dan ketertiban di bawah pemerintah daerah, dibubarkan.

"Kami ingin bebas ngamen dan mencari uang. Biarkan kami di
jalanan. Musnahkan Tramtib supaya anak jalanan senang," kata Angga
(14), yang sehari-hari ngamen di kawasan Blok M.

Regi (16) yang baru seminggu melarikan diri dari panti sosial
Kedoya, mengajak kawan-kawannya untuk membubarkan Tramtib. Selama
lima minggu, kata Regi, ia "dipenjara" di Kedoya setelah ditangkap
oleh seorang intel dalam operasi preman beberapa waktu lalu.
Menanggapi ajakan Regi, seorang anak berteriak agar Tramtib dibom
saja. Namun, Regi mengusulkan agar mereka berunjuk rasa terus-menerus
sampai Tramtib dibubarkan.

"Agar kita aman di jalanan," kata Regi. "Tapi jangan pakai
lempar-lempar."
***

APARAT Tramtib merupakan sumber kerisauan anak-anak jalanan.
Kekerasan yang mereka hadapi sehari-hari di jalanan, bukanlah dari
para penjahat, preman, atau pemalak, tetapi justru aparat Tramtib.

Ari (14), yang sehari-hari menyapu lantai kereta dari Stasiun
Jatinegara untuk mendapatkan uang receh dari penumpang, menuturkan
bahwa tiga orang rekannya tidak bisa ikut dalam acara perkemahan itu
karena keburu ditangkap Tramtib sewaktu tiduran di jalanan.

"Saya sempat melarikan diri. Waktu saya berangkat, aparat Tramtib
juga berkeliaran di taman di dekat tempat saya singgah," kata Ari.
Coley dan Coki yang telah belasan tahun hidup di jalanan
mengatakan bahwa hak mereka untuk hidup di jalanan. Juga ngamen di
perempatan jalan.

"Apa salahnya kami ngamen di jalanan. Kami tidak mencuri. Kalau
dibilang mengganggu, ada orang- orang yang memberi kami uang atau
membawakan kami makanan. Justru karena ada kami, perempatan di
kawasan Blok M tidak pernah ada orang kehilangan kaca spion atau HP.
Lalu, kenapa kami dilarang?" ujar Coley.

Ia menuturkan, pernah ditangkap polisi dan disarankan untuk
berdagang. Namun, saat berjualan koran atau teh botol di kaki lima,
ia tidak luput dari kejaran Tramtib dan gerobaknya disita.

"Berbuat jahat dilarang, yang halal juga dilarang, lantas kami
disuruh apa?" kata Coley.

Coki menuturkan, ia dan kawan-kawannya berada di jalanan bukan
karena kemauan mereka sendiri. Mereka lari ke jalan karena tidak
punya uang atau menjadi korban kekerasan orangtuanya.

"Karena dilarang ngamen di perempatan, semua pengamen naik ke bus
kota. Bagaimana dengan adik-adik saya yang masih kecil kalau jatuh
dari bus. Apa pemerintah yang nanggung?" kata Coki.

Penanganan anak jalanan, menurut Ibe Karyanto, bukan soal
mengeluarkan atau tidak mengeluarkan mereka dari jalanan. Yang
penting ketika mereka di jalanan mereka utuh sebagai pribadi,
memiliki kebanggaan, tidak menunjukkan sikap-sikap defensif atau
meminta belas kasihan orang lain. Sektor informal, berdagang di kaki
lima, pun merupakan kehidupan di jalanan.

"Masalahnya memang bukan mengeluarkan atau tidak mengeluarkan
mereka dari jalanan," kata Karyanto. (P Bambang Wisudo)

Ensemble Kaleng Rombeng Andre

VHR, 29 April 2007 - 23:16 WIB
Liza Desylanhi

Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam
Menanam jagung di kebun kita...



Jemari para siswa SD Pangudi Luhur, Cipete, Jakarta Selatan, lincah memainkan alat-alat musik, mengalunkan lagu "Menanam Jagung". Ada yang menekan tuts pianika, memetik dawai gitar, menabuh jimbe, dan meniup seruling.

Satu lagu belum juga usai, sang guru segera menghentakkan kaki, lalu menepukkan tangan. Ini pertanda musik harus berhenti. Suara fals tiba-tiba mengganggu. Guru itu pun membetulkan. Musik mengalun lagi hingga usai.

Keringat para siswa bercucuran karena panas yang menyengat. Maklum mereka latihan di pelataran sekolah sambil menunggu petugas laboratorium musik yang membawa kunci. Namun bocah-bocah kelas IV sampai VI itu tetap semangat berlatih untuk pertunjukan pesta kenaikan kelas bulan depan. Bahkan, kini mereka belajar membuat komposisi lagu sendiri.

Sang guru, Andre (26), tak kalah semangat. "Tinggal dipoles sedikit lagi akan jadi pertunjukan yang bagus," katanya sambil menyeka butiran keringat di dahi. Para murid pun senang atas pujian itu.

Andre guru istimewa. Saat mengajar ia mengenakan kaos oblong, jins belel yang robek di lutut, dan sandal gunung kegemarannya. Deretan anting perak menghiasi telinganya. Gayanya yang jauh dari formal membuatnya disukai para murid. Hampir semua murid akrab dengan Pak Guru yang satu ini.

"Orangnya sabar. Asyik. Nggak ngebosenin," kata Ivan Afiananda, siswa kelas V. Dulu Ivan pernah les piano, namun berhenti karena bosan. Di tangan Andre, Ivan tertarik kembali memainkan tuts-tuts piano.

Andre hanya lulusan sekolah menengah pertama. Selepas SMP ia menjadi pengamen dan pemulung, mengikuti profesi orang tuanya. Namun kepiawaian Andre memainkan musik membuat sekolah elite seperti Pangudi Luhur mempercayakan pengajaran musik siswanya kepada anak muda ini.

Tak ada bentangan permadani merah bagi Andre menuju profesi guru musik. Lamaran-lamarannya menjadi guru musik selalu ditolak karena ia tak punya ijazah yang memadai. Belum lagi karena penampilannya yang belel. "Sakit hati. Hampir putus asa," ujarnya. "Ternyata susah mendobrak budaya yang sudah kental ini. Mereka menilai seseorang dari luarnya saja."

Andre harus membuktikan kemampuannya agar dipercaya sebagai pengajar. Kesempatan itu didapat dari Wakil Kepala Sekolah SD Pangudi Luhur yang mempercayainya melatih musik ensemble siswa kelas II dengan kaleng bekas. Ia hanya diberi waktu sepuluh hari untuk melatih. Andre menyambut kesempatan itu dengan penuh semangat. "Awalnya kepala sekolah dan orang tua nggak percaya. Tapi bersyukur aku mampu membuat dua komposisi untuk anak-anak SD itu."

Hasilnya, Andre mampu menyajikan musik ensemble kaleng bekas yang apik pada pesta akhir tahun.

Kepiawaian Andre memainkan komposisi musik klasik bukan datang dari langit. Sejak 2001 dia digodok di Sanggar Akar oleh Arjuna Hutagalung, profesor musik dari Institut Kesenian Jakarta. Sanggar itu memang didirikan untuk anak-anak jalanan.

"Dulu main gitar cuma genjreng-genjreng. Nggak ngerti ritme, nada, apalagi bikin komposisi musik," kata pria beralis tebal ini. Berkat didikan Arjuna, Andre tak hanya mampu memainkan alat musik dengan benar, namun juga membuat komposisi.

Arjuna pengajar yang keras, tegas, dan rajin memberikan pekerjaan rumah. Dia menuntut para siswanya berkomitmen tinggi. Akibatnya, dari 20 murid Sanggar Akar seangkatan Andre, tinggal tujuh orang yang bertahan. "Yang lain berguguran. Nggak kuat," kata Andre sambil tertawa.

Di awal latihan, Arjuna langsung menyodorkan komposisi Johann Sabastian Bach. Melihat partitur not balok karya itu Andre pusing. "Materinya berat. Dari segi teori aku jelek, deh! Tapi kalau praktik, aku cepat. Jangankan musik klasik, musik pop saja aku nggak ngerti. Namun aku harus mainin komposisi Bach. Gimana nggak mumet ini kepala?" kata pemuda berkulit gelap ini.

Andre harus bekerja keras memainkan musik Bach. Pertama, ia belajar membaca partitur. Kemudian belajar ketukan. Setelah lancar, beralih ke nada. Terakhir dia memainkan komposisi dengan gitar. Setelah bisa memainkan dengan gitar, beralih mengenali biola dan piano dengan mempelajari anatominya. Baru perlahan Andre mulai mengeja komposisi Bach dengan dua alat musik itu.

Andre juga mesti mengikuti kelas musik di kediaman Arjuna, dua kali seminggu. Ia tidak boleh membolos dengan alasan apa pun. Latihan dimulai pukul sembilan malam dan berakhir pukul satu dini hari. Tak jarang latihan molor hingga pukul tiga pagi. Setiap hari ia harus meluangkan waktu setengah jam untuk mempelajari komposisi yang diberikan Arjuna.

Sementara dari pagi sampai sore Andre dan teman-temannya harus mengajar para yuniornya di sanggar. Setiap menjelang tidur Andre menyempatkan diri latihan membaca partitur. Namun ia sering ketiduran sambil memeluk partitur.

Keterbatasan alat musik di sanggar teratasi oleh Arjuna yang menghibahkan sebuah piano. Ada pula dermawan yang menyumbang beberapa biola untuk sanggar itu.

Mesti keras, Arjuna pengajar yang menyenangkan. Ia pandai menghibur para muridnya. "Kelas selalu diawali dengan makan malam dan diakhiri minum bir," kata Andre.

Karena sering minum bir bareng, para murid pun kian akrab dengan Arjuna. Bahkan mereka mengganggap kakek gondrong penggemar kaos oblong merek Swan itu sebagai ayah sendiri.

Kerja keras memang makanan Andre sejak belia. Ia dulu membiayai sendiri sekolahnya dengan menjadi pemulung dan pengamen. Tak jarang ia ditodong dan diperas anak jalanan lain. " Hukum rimba berlaku di sana. Siapa kuat dia berkuasa," katanya sambil menerawang. "Kalau diingat-ingat sedih juga, sampai segitunya nyari duit. Susah banget."

Di sekolah dulu Andre tergolong berprestasi. Setiap penerimaan rapor ia selalu menjadi juara kelas. Namun ia kapok sekolah setelah disiksa oleh guru Fisika, karena tak sengaja melempar bola basket ke guru itu. Akibat siksaan itu Andre tak bisa makan seminggu. "Sampai kapan pun pengalaman itu nggak akan pernah kulupa. Aku benci sekolah formal!" ujarnya dengan suara parau. Dia pun tak melanjutkan ke sekolah menengah umum.

Saat di kelas II SMP Andre mulai kenal Sanggar Akar. Saat itu ia diajak temannya mengikuti kemah Kampung Orang Kere (Kampore) yang digelar sanggar tersebut. Sejak itu Andre bergabung dan menjadi "anak" Sanggar Akar. Bersama sanggar itu motivasi belajarnya kembali bangkit. "Kalau nggak sekolah formal, harus punya skill untuk hidup. Makanya belajar musik di sini. Walaupun apa adanya, aku mencoba serius."

Berkat ketekunan dan kerja keras itu kepiwaian Andre terus terasah. Sampai suatu ketika komposisinya dimainkan pada sebuah konser di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. "Di situ aku merasa hidup itu dihargai. Karena belajar dengan susah payah, aku akhirnya bisa membuat karya yang dapat dinikmati orang."

Kebanggaan Andre bertambah saat anak asuhnya di SD Pangudi Luhur menjadi juara II Pentas Musik Sekolah Dasar se-Jabotabek Desember tahun lalu. Karena prestasi itu status Andre sebagai guru honorer akan dinaikkan menjadi guru tetap.

Wakil Kepala SD Pangudi Luhur I Nengah Suntaya pun memberikan lampu hijau untuk Andre. Ia melihat keahlian Andre lebih bernilai daripada selembar ijazah. "Kami tidak melihat dari segi ijazah. Kalau ijazah saja kan bisa beli," katanya. "Saya nilai dia cukup kreatif. Mampu mengaransemen lagu dan dapat mendekati anak-anak."

Selain mengajar di SD Pangudi Luhur, Andre juga mengajar paduan suara Gereja Santo Yohanes di Sunter, Jakarta Pusat, dan menjadi guru les privat. Beberapa tawaran mengajar ia tolak karena tak mau menelantarkan para yuniornya di Sanggar Akar.

"Ini meyakinkan aku bahwa ijazah tak penting. Juga meyakinkan bahwa orang-orang seperti aku juga mampu berkarya," katanya menutup pembicaraan. Andre membakar rokok kretek dan mengisapnya pelan-pelan. Dikepulkannya asap ke udara, membentuk sebuah komposisi musik di kepalanya. (E2)

Pendidikan Masyarakat ala Sanggar Akar

29 Mei 2008,Suara Pembaruan
Berawal dengan peduli terhadap lingkungan dan pentingnya sebuah pendidikan, sekelompok anak-anak muda yang berprofesi tukang becak, orang- orang gusuran dari Lampung, anak-anak pengasongan wilayah Jatinegara membentuk suatu komunitas. Komunitas tersebut di bawah naungan Institute Sosial Jakarta (ISJ) yang juga melibatkan Romo Sandiawan.

Kegiatan bermula pada penanganan kasus-kasus seperti penangkapan anak-anak yang membutuhkan perlindungan, melalui kesehatan dan juga jalur pendidikan. Penekanannya ada pada jalur advokasi, yaitu pembelaan, kasus buruh, kelompok anak, kelompok buruh dan pekerja kota.

Pada November 1994 merupakan pertemuan bersama-sama yang sepakat harus membentuk komunitas yang teratur. Komunitas tersebut dinamakan Sanggar Akar, yang peduli terhadap anak-anak pinggiran atau jalanan, pemulung juga termasuk korban gusuran.

Namun, pada 1999 pro- gram kerja berubah dan menekankan pada pendidikan. Sistem pengolahannya, yaitu masuknya kasus tentang pendidikan. Sanggar membutuhkan tempat yang tidak berpindah-pindah dan lebih mapan, termasuk metode pengajarannya.

Sanggar Akar sudah mengalami lima kali pindah tempat, dikarenakan lingkungan yang kurang bersahabat.

Ada yang tidak suka dengan keberadaan sanggar tersebut, yang dianggap warga, kegiatan mereka menganggu sekitar. Harga sosial di masyarakat sangatlah mahal, makanya agar diterima dengan baik, Sanggar Akar sering menjadi pihak penengah sangat menangani kasus di lingkungan sekitar.

Begitu pula penghuni sanggar melakukan kerja bakti dan turut dalam pemilihan ketua rumah tangga (RT) agar semua berjalan lancar. Sanggar Akar saat ini beralamat di Jalan Inspeksi Saluran Jatiluhur RT 07/01 No. 30, Cipinang Melayu, Jakarta Timur. Hubungan dengan masyarakat sekitar tercipta suasana yang akrab, karena seperti para tetangga lainnya, bila ada kesusahan semuanya saling membantu satu sama lain.

Pada tahun 2000, Sanggar Akar berkembang dengan adanya struktur yang lebih rapi dan memberikan kesempatan pada anak-anak. Setelah itu, Sanggar lepas dari ISJ dan memutuskan mandiri.

Sumber dana Sanggar Akar tidak tergantung lagi semuanya pada founding. Dananya terbatas, karena biasanya tiap tiga tahun sekali baru diberikan founding.



Kehidupan Sehari-hari

Begitu juga dengan dengan isu yang dimainkan, sudah Sanggar Akar sendiri yang menentukan. Menurut salah satu pendiri Sanggar Akar, Ivonne, pendidikan yang diajarkan di sanggar sesuai dengan kehidupan sehari-hari, mulai dari pikiran, perasaan dan tindakan nyata.

Walaupun apa yang diinginkan dan tujuan tersebut belum tercapai sepenuhnya. Program harus satu kesatuan, dimana dalam pergaulan sesama sanggar yang diatur, memasak, pentingnya kesehatan diri sendiri dan lingkungan serta hubungan dengan masyarakat.

Selain ilmu yang langsung pada dampaknya, teori pun dapat. Misalnya pelajaran bahasa Indonesia dan Inggris, matematika, sejarah dan seni rupa.

"Semua aspek yang pelajari di sanggar, dipresentasikan ke masyarakat dalam pentas tahunan. Begitu juga dalam hal kemanusiaan yang sifatnya sosial, yaitu saat banjir datang melanda, semua turut membantu warga," kata Ivonne.

Dia menambahkan, untuk anak-anak yang masuk ke Sanggar Akar, minimal berusia 14 tahun, karena pada umur itulah anak masih ada keinginan mau belajar dengan serius selama tiga bulan.

Tidak ada pungutan biaya, bila mau bergabung, asal mau berkomitmen. Kelas ada pembagiannya, yaitu kelas pagi yang belajar tentang pengembangan budaya, seperti keterampilan, film, musik dan teater.

Sedangkan kelas malam, untuk kelas formal, yaitu belajar teori. Salah seorang penghuni Sanggar Akar, sudah bergabung selama dua tahun, menerima banyak pengajaran yang diajarkan guru di sanggar.

"Sangat sangat senang bergaabung di sini, walaupun beda dengan sekolah yang ada di luar. Di sanggar ini banyak ruangan, seperti ruangan perpustakaan, audio visual, gudang untuk menaruh barang-barang, kamar-kamar peserta, kamar tamu, maupun ruang untuk kerja sablon dan mencetak undangan atau kartu," katanya dengan senang.

Sanggar Akar mendapatkan bantuan tenaga pendidik, yang bertugas mengajar anak-anak, yang berasal Perkumpulan Sahabat Akar yang merupakan guru bantu dari lembaga formal. Ada juga dari kawan-kawan para pendiri maupun fasilitatornya.

Untuk mempermudah sistem di sanggar, anak-anak dibedakan menurut tingkat umur, yaitu tingkat lembut 9-12 tahun, tingkat martanggung 13-17 tahun dan masa transisi 18-20 tahun. Bila sudah 20 tahun keatas, anak tersebut lepas dari sanggar dan harus mulai belajar mandiri.

Ada yang menjadi fasilitator atau pelaksana harian di Sanggar Akar untuk membantu. Ada pula yang menjadi guru musik di sekolah-sekolah, dan lain-lain.



Pentas

Pada tahun 2002, sanggar sudah menerima donator tiap bulan yang berjumlah Rp 100.000. Agar kegiatan berjalan terus, anak-anak diajarkan keterampilan.

Hasil produksi keterampilan tersebut dijual. Hal yang dilakukan adalah daur ulang barang-barang bekas, sablon, cetak undangan maupun kartu. Sanggar Akar sering mengadakan acara pentas seperti teater dan musik di luar, yaitu Taman Ismail Marzuki (TIM), Kuningan, perusahaan-perusahaan yang membutuhkan maupun sekolah-sekolah. Sanggar juga menjual jasa pelatihan pendidikan bagi yang membutuhkan. Begitu juga dengan adanya hibah.

"Kami mencita-citakan pendidikan pesat bagi anak-anak pinggiran. Untuk itu, Sanggar Akar bekerja sama dengan Sanggar Score, Sanggar Bela, Sanggar Roda dan dengan lembaga-lembaga lainnya, untuk mengadakan acara-acara. Kami pernah mendapatkan bantuan berupa peralatan musik, seperti gitar, bonggo, pianika dan suling yang semuanya itu sangat berguna bagi pengembangan anak-anak," tutur Ivonne.

Disebutkan, anak-anak yang belajar di sanggar, sudah ada yang diterima apa adanya di sekolah negeri maupun sekolah swasta. Pihak sekolah memberikan keringanan dalam hal pembayaran yang boleh dicicil.

"Namun, ada juga yang ditolak, alasannya karena anak tersebut cacat (tubuh). Tetapi hal tersebut seharusnya tidak dijadikan alasan, bila si anak bisa mengikuti pelajaran sekolah," jelas sang pendidik.

Anak-anak bersekolah di tempat yang formal, karena mereka menginginkan sertifikat resmi. Itulah tujuan mereka bersekolah di luar, karena sanggar tidak bisa memberikan sertifikat.

Di sanggar anak-anak diajak untuk berpikir tentang dirinya sendiri dan mereka diberikan kesempatan untuk hal itu, bahkan hak bicara yang sulit ditemui di sekolah formal.

Sekolah formal tidak tersentuh oleh semua orang yang menginginkan pendidikan. Sedangkan di sanggar, anak-anak tidak hanya diajarkan teori-teori, tetapi juga diajarkan audio visual tentang film dan musik. Sanggar Akar sudah menerbitkan tabloid "Niat" sejak 1995, yang terbit dua bulan sekali dan dijual ke jaringan anak atau yang menginginkannya..

Ada anak-anak yang tinggal menetap di sanggar dan ada pula yang tinggal dengan orang tua mereka di lingkungan sekitar. Anak-anak yang tinggal menetap di Sanggar, ada sekitar 20 anak. Kalau untuk yang belajar di sanggar sangat banyak, karena ada perkumpulan komunitas yang datang dari Bantaran Gebang, Cakung, Halim dan lain-lain yang bisa berjumlah sampai 250 orang.

Mereka semua ingin belajar, karena pendidikan sangat penting. Sekarang masyarakat percaya pada modal pendidikan di Sanggar Akar. Pendidikan bukan terletak pada sebuah kertas, tetapi keterampilan mencerna pendidikan tersebut dan mempraktikkannya di masyarakat luas. [Hendro Situmorang]

Pendidikan Masyarakat ala Sanggar Akar

29 Mei 2008,Suara Pembaruan
Berawal dengan peduli terhadap lingkungan dan pentingnya sebuah pendidikan, sekelompok anak-anak muda yang berprofesi tukang becak, orang- orang gusuran dari Lampung, anak-anak pengasongan wilayah Jatinegara membentuk suatu komunitas. Komunitas tersebut di bawah naungan Institute Sosial Jakarta (ISJ) yang juga melibatkan Romo Sandiawan.

Kegiatan bermula pada penanganan kasus-kasus seperti penangkapan anak-anak yang membutuhkan perlindungan, melalui kesehatan dan juga jalur pendidikan. Penekanannya ada pada jalur advokasi, yaitu pembelaan, kasus buruh, kelompok anak, kelompok buruh dan pekerja kota.

Pada November 1994 merupakan pertemuan bersama-sama yang sepakat harus membentuk komunitas yang teratur. Komunitas tersebut dinamakan Sanggar Akar, yang peduli terhadap anak-anak pinggiran atau jalanan, pemulung juga termasuk korban gusuran.

Namun, pada 1999 pro- gram kerja berubah dan menekankan pada pendidikan. Sistem pengolahannya, yaitu masuknya kasus tentang pendidikan. Sanggar membutuhkan tempat yang tidak berpindah-pindah dan lebih mapan, termasuk metode pengajarannya.

Sanggar Akar sudah mengalami lima kali pindah tempat, dikarenakan lingkungan yang kurang bersahabat.

Ada yang tidak suka dengan keberadaan sanggar tersebut, yang dianggap warga, kegiatan mereka menganggu sekitar. Harga sosial di masyarakat sangatlah mahal, makanya agar diterima dengan baik, Sanggar Akar sering menjadi pihak penengah sangat menangani kasus di lingkungan sekitar.

Begitu pula penghuni sanggar melakukan kerja bakti dan turut dalam pemilihan ketua rumah tangga (RT) agar semua berjalan lancar. Sanggar Akar saat ini beralamat di Jalan Inspeksi Saluran Jatiluhur RT 07/01 No. 30, Cipinang Melayu, Jakarta Timur. Hubungan dengan masyarakat sekitar tercipta suasana yang akrab, karena seperti para tetangga lainnya, bila ada kesusahan semuanya saling membantu satu sama lain.

Pada tahun 2000, Sanggar Akar berkembang dengan adanya struktur yang lebih rapi dan memberikan kesempatan pada anak-anak. Setelah itu, Sanggar lepas dari ISJ dan memutuskan mandiri.

Sumber dana Sanggar Akar tidak tergantung lagi semuanya pada founding. Dananya terbatas, karena biasanya tiap tiga tahun sekali baru diberikan founding.



Kehidupan Sehari-hari

Begitu juga dengan dengan isu yang dimainkan, sudah Sanggar Akar sendiri yang menentukan. Menurut salah satu pendiri Sanggar Akar, Ivonne, pendidikan yang diajarkan di sanggar sesuai dengan kehidupan sehari-hari, mulai dari pikiran, perasaan dan tindakan nyata.

Walaupun apa yang diinginkan dan tujuan tersebut belum tercapai sepenuhnya. Program harus satu kesatuan, dimana dalam pergaulan sesama sanggar yang diatur, memasak, pentingnya kesehatan diri sendiri dan lingkungan serta hubungan dengan masyarakat.

Selain ilmu yang langsung pada dampaknya, teori pun dapat. Misalnya pelajaran bahasa Indonesia dan Inggris, matematika, sejarah dan seni rupa.

"Semua aspek yang pelajari di sanggar, dipresentasikan ke masyarakat dalam pentas tahunan. Begitu juga dalam hal kemanusiaan yang sifatnya sosial, yaitu saat banjir datang melanda, semua turut membantu warga," kata Ivonne.

Dia menambahkan, untuk anak-anak yang masuk ke Sanggar Akar, minimal berusia 14 tahun, karena pada umur itulah anak masih ada keinginan mau belajar dengan serius selama tiga bulan.

Tidak ada pungutan biaya, bila mau bergabung, asal mau berkomitmen. Kelas ada pembagiannya, yaitu kelas pagi yang belajar tentang pengembangan budaya, seperti keterampilan, film, musik dan teater.

Sedangkan kelas malam, untuk kelas formal, yaitu belajar teori. Salah seorang penghuni Sanggar Akar, sudah bergabung selama dua tahun, menerima banyak pengajaran yang diajarkan guru di sanggar.

"Sangat sangat senang bergaabung di sini, walaupun beda dengan sekolah yang ada di luar. Di sanggar ini banyak ruangan, seperti ruangan perpustakaan, audio visual, gudang untuk menaruh barang-barang, kamar-kamar peserta, kamar tamu, maupun ruang untuk kerja sablon dan mencetak undangan atau kartu," katanya dengan senang.

Sanggar Akar mendapatkan bantuan tenaga pendidik, yang bertugas mengajar anak-anak, yang berasal Perkumpulan Sahabat Akar yang merupakan guru bantu dari lembaga formal. Ada juga dari kawan-kawan para pendiri maupun fasilitatornya.

Untuk mempermudah sistem di sanggar, anak-anak dibedakan menurut tingkat umur, yaitu tingkat lembut 9-12 tahun, tingkat martanggung 13-17 tahun dan masa transisi 18-20 tahun. Bila sudah 20 tahun keatas, anak tersebut lepas dari sanggar dan harus mulai belajar mandiri.

Ada yang menjadi fasilitator atau pelaksana harian di Sanggar Akar untuk membantu. Ada pula yang menjadi guru musik di sekolah-sekolah, dan lain-lain.



Pentas

Pada tahun 2002, sanggar sudah menerima donator tiap bulan yang berjumlah Rp 100.000. Agar kegiatan berjalan terus, anak-anak diajarkan keterampilan.

Hasil produksi keterampilan tersebut dijual. Hal yang dilakukan adalah daur ulang barang-barang bekas, sablon, cetak undangan maupun kartu. Sanggar Akar sering mengadakan acara pentas seperti teater dan musik di luar, yaitu Taman Ismail Marzuki (TIM), Kuningan, perusahaan-perusahaan yang membutuhkan maupun sekolah-sekolah. Sanggar juga menjual jasa pelatihan pendidikan bagi yang membutuhkan. Begitu juga dengan adanya hibah.

"Kami mencita-citakan pendidikan pesat bagi anak-anak pinggiran. Untuk itu, Sanggar Akar bekerja sama dengan Sanggar Score, Sanggar Bela, Sanggar Roda dan dengan lembaga-lembaga lainnya, untuk mengadakan acara-acara. Kami pernah mendapatkan bantuan berupa peralatan musik, seperti gitar, bonggo, pianika dan suling yang semuanya itu sangat berguna bagi pengembangan anak-anak," tutur Ivonne.

Disebutkan, anak-anak yang belajar di sanggar, sudah ada yang diterima apa adanya di sekolah negeri maupun sekolah swasta. Pihak sekolah memberikan keringanan dalam hal pembayaran yang boleh dicicil.

"Namun, ada juga yang ditolak, alasannya karena anak tersebut cacat (tubuh). Tetapi hal tersebut seharusnya tidak dijadikan alasan, bila si anak bisa mengikuti pelajaran sekolah," jelas sang pendidik.

Anak-anak bersekolah di tempat yang formal, karena mereka menginginkan sertifikat resmi. Itulah tujuan mereka bersekolah di luar, karena sanggar tidak bisa memberikan sertifikat.

Di sanggar anak-anak diajak untuk berpikir tentang dirinya sendiri dan mereka diberikan kesempatan untuk hal itu, bahkan hak bicara yang sulit ditemui di sekolah formal.

Sekolah formal tidak tersentuh oleh semua orang yang menginginkan pendidikan. Sedangkan di sanggar, anak-anak tidak hanya diajarkan teori-teori, tetapi juga diajarkan audio visual tentang film dan musik. Sanggar Akar sudah menerbitkan tabloid "Niat" sejak 1995, yang terbit dua bulan sekali dan dijual ke jaringan anak atau yang menginginkannya..

Ada anak-anak yang tinggal menetap di sanggar dan ada pula yang tinggal dengan orang tua mereka di lingkungan sekitar. Anak-anak yang tinggal menetap di Sanggar, ada sekitar 20 anak. Kalau untuk yang belajar di sanggar sangat banyak, karena ada perkumpulan komunitas yang datang dari Bantaran Gebang, Cakung, Halim dan lain-lain yang bisa berjumlah sampai 250 orang.

Mereka semua ingin belajar, karena pendidikan sangat penting. Sekarang masyarakat percaya pada modal pendidikan di Sanggar Akar. Pendidikan bukan terletak pada sebuah kertas, tetapi keterampilan mencerna pendidikan tersebut dan mempraktikkannya di masyarakat luas. [Hendro Situmorang]

NAK JALANAN ITU KINI BERSEKOLAH FORMAL

KOMPAS, Selasa, 26-08-2003.
KEGIATAN Dede Supriyatna (19), kini tak hanya bergelut dengan
percobaan membuat alat musik dari berbagai bahan di sanggar saja.
Sejak Juli lalu, tugas Dede-akrab dengan panggilan Ambon-sebagai
pimpinan Dewan Koordinator Anak (Dekan) Sanggar Akar bertambah satu,
kuliah di Institut Musik Indonesia.

Kerinduan Ambon, lulusan sekolah kejuruan di Jakarta untuk
menempuh pendidikan tinggi tercapai sudah. Ia dan enam kawannya
sesama anggota sanggar berpredikat mahasiswa, predikat yang
dirindukannya sejak kecil.

Ada 25 'adik-adik' Ambon di sanggar itu, yang juga berstatus
siswa sekolah dasar (SD), sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP),
dan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA).

Keputusan sanggar menyekolahkan anak-anak jalanan ke sekolah
formal tampaknya sulit dimengerti. Mereka umumnya mengesampingkan
sekolah formal, sebab anak jalanan tak suka terkungkung aturan
pendidikan formal yang biasanya serba kaku.

Akan tetapi, penanggung jawab sanggar, Ibe Karyanto, punya
alasan. Bersama empat rekannya antara lain Ivonne dan Jupri, yang
sejak 1994 mendirikan sanggar, ia hanya menuruti keinginan anak-anak
sanggar. Namun, setiap anak harus bertanggung jawab terhadap
keputusannya bersekolah.

"Jika mereka membolos dan sudah diingatkan tiga kali tidak bisa,
hukumannya dirumuskan bersama. Misalnya, mereka tidak boleh nonton
televisi selama seminggu," tutur Ibe.

Menurut Andre (12), mereka sudah tahu sendiri kalau ada PR yang
harus dikerjakan. "Daripada diomelin Uwak (panggilan anak sanggar
kepada Ibe Karyanto-Red)," tambah Rastini (12), yang sore itu bersama
Aminah tengah mengerjakan PR Matematika.

Keduanya ditunggui Hani, gadis yang sejak beberapa tahun terakhir
bergabung di sanggar dan kini mahasiswa jurusan Bahasa Inggris.
***

JULI 2003 menjadi saat terberat bagi sanggar karena 32 anak dari
sekitar 80-an warga sanggar harus mengurus kenaikan kelas atau masuk
sekolah baru. Ada sembilan anak di tingkat SD, tujuh di SLTP,
sembilan masuk SLTA, dan tujuh ke perguruan tinggi.

Darimana dananya?
"Anak-anak memang punya tabungan pribadi tetapi tidak mungkin
mengandalkan tabungan itu untuk membayar sekolahnya," tutur Ibe.

Tabungan pribadi, menurut Rastini, biasanya untuk membeli buku
tulis, tas sekolah, atau barang pribadi lainnya. "Kalau mau ambil
uang harus jelas untuk apa. Kalau tidak, enggak dikasih Ompung"
terang Rastini. Ompung adalah rekan Ibe yang bertugas antara lain
mencatat tabungan anak sanggar.

Ibe, lelaki asal Solo itu lantas merinci pengeluaran untuk
menyekolahkan 'anak-anaknya'. Tingkat SD, mereka memilih bersekolah
yang dekat dengan sanggar atau basis sehingga bisa mengirit ongkos.
Sekalipun demikian, masuk sekolah baru biar tingkat SD tetap kena
uang sumbangan pendidikan sekitar Rp 300.000 per siswa, ditambah
pembelian buku dalam paket yang sudah ditentukan sekolah. Untuk SD
harganya sekitar Rp 190.000 per anak.

Bagi yang di SLTP dan SLTA, uang sumbangan dan buku paket yang
harus dibeli lebih mahal lagi. Bila dijumlahkan, biaya memasukkan
anak ke sekolah tak kurang dari Rp 10 juta. Angka itu belum termasuk
pembelian paket buku ajar (cetak), seragam, SPP, dan transpor
harian. "Uang buku sampai sekarang belum terbayar, belum ada uang,"
kata Ibe.

Adapun mereka yang kuliah, setidaknya perlu dana Rp 3-4 juta per
anak, ditambah SPP per semester yang besarnya sekitar Rp 1 juta per
mahasiswa.
***

ANDRE, Ambon, Hani, para pemulung, dan pengamen anggota sanggar
boleh gembira bisa sekolah, tetapi para pengasuh Sanggar Akar harus
memutar otak mencari dana pengganti biaya hidup mereka bulan
mendatang. Uang itu dibutuhkan untuk makan yang hanya sekali sehari,
bayar listrik, dan modal kerja membuat kerajinan tangan.

Sebenarnya setahun terakhir, Sanggar Akar sudah mampu mencukupi
kebutuhannya dari sumbangan donatur dan order sablon, membuat lay out
majalah, membuat undangan, dan barang lain dari kertas daur ulang
sampai menerima order main teater dan musik. Grup musik sanggar
bahkan sudah berpentas hingga Surabaya. Untuk keluar kota tarifnya
sekitar Rp 3-4 juta bersih. Hasil pentas untuk semua pendukung
pementasan dan keperluan sanggar.

Kini, defisit keuangan yang parah membuat penghuni sanggar harus
kerja keras mencari order. "Saya sekarang 'mulung' lagi," aku Ibe
tanpa malu. (SOELASTRI SOEKIRNO)

Kesalehan Sosial Kaum Pinggiran

27-Jul-2007,
[www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Sebuah bale joglo berdiri di tepi sungai Kalimalang, Jakarta Timur yang sedang meluap. Hujan tak kunjung berhenti dari pagi hingga siang itu. Tiba-tiba Guntur (6 tahun) berlari dan bergelayut manja ke pangkuan Doge Abdurrahman (23 tahun), salah seorang pendamping sekaligus pengasuhnya. Guntur adalah salah satu dari 60-an anak-anak bangsa yang karena berbagai kondisi harus tumbuh di jalanan. Di mana dan siapa orang tuanya barangkali tak banyak dipedulikan.

Komunitas Sanggar Anak Akar (SAA) telah delapan tahun lebih berusaha membantu membukakan hari esok bagi mereka di tengah gelombang ketidakmenentuan nasib dengan tanpa membatasi kebiasaan mereka untuk mengamen dan bermain. Duduk melingkar lesehan, berpakaian seadanya tanpa beralas kaki, dan bergerombol sesuai kelompok usia masing-masing. “Di sini kita bagi menjadi 3 kelompok sesuai usia dan tingkat kemampuan anak-anak; pemula, madya dan utama,” terang Doge.

Di Sanggar Akar anak-anak jalanan yang selama ini dipandang liar dan susah diatur belajar berdisiplin, bertanggungjawab dan bekerjasama dengan lingkungan sekitar. Setiap Senin sampai Kamis mulai pukul 09-12 dan 19-21 mereka mempelajari bahasa Indonesia, bahasa Inggris, matematika dan jurnalistik. Begitu masuk hari Juma’at hingga Minggu mereka giliran mengasah kemampuan seni dan kreatifitas. Maka tak heran kalau setiap sudut sanggar ini dipenuhi berbagai karya mereka sendiri, mulai foto, lukisan hingga patung.

Lantas bagaimana dengan penanaman nilai-nilai keagamaan bagi anak-anak yang masih belia ini? Pria kalem yang biasa dipanggil Kak Doge oleh adik-adik di Sanggar Akar ini menerangkan bahwa mereka sangat beragam dalam soal afiliasi keagamaan. Itupun ada yang taat beribadah dan ada yang tidak. Namun Sanggar tidak mau mencampuri sisi ritual yang sangat pribadi, melainkan lebih menekankan pada internalisasi nilai-nilai agama dan budi pekerti dalam prkatik hidup sehari-hari. Suatu ketika pernah ada orang yang menawarkan diri untuk mengajar agama di Sanggar. Lantas Sanggar mengajak orang itu untuk melakukannya di Musholla yang tak jauh dari sana. Dengan harapan supaya sekaligus menjadi media sosialisasi anak-anak jalanan dengan warga setempat. Entah karena apa orang tersebut malah menolak.

Di sini Doge dan teman-temannya ingin menyatukan antara pemahaman dan praktik keagamaan dengan kehidupan sosial. Ini sangatlah penting mengingat kenyaatan bahwa mereka benar-benar diasingkan oleh masyarakat, maka upaya normalisasi sekat sosial itu menjadi mutlak diperlukan. Di sinilah semestinya agama mengambil peran. Semua agama menandaskan bahwa setiap orang dilahirkan dalam derajat yang sama, namun dalam praktik social kenapa ada pemisahan yang demikian kokoh. “Kita cuma ingin mengarahkan anak-anak jalanan dapat shaleh secara ritual sekaligus sosial,” ujar Doge.

Lebih jauh diceritakan, dulu seringkali kegiatan ini dituding sebagai misi kristenisasi karena Ibe Karyanto, sang pemangku sanggar atau biasa disebut rektor, berasal dari kalangan Katolik. Namun Wak Karyo tidak merasa perlu mengklarifikasi fitnah-fitnah seperti itu. Karena Sanggar tidak pernah mengarahkan anak-anak pada agama tertentu, namun tetap membiarkan mereka menganut agama yang telah mereka bawa sebelum masuk sanggar. “Di sini yang kita bangun pada diri anak-anak adalah mental kemandirian, kreatifitas, dan kepemimpinan sosial,” ujar pria yang drop out dari kelas 1 SMA ini.

Di sanggar yang dikelola dengan penuh kekeluargaan ini, toleransi dalam beragama merupakan nilai dasar yang harus ditambatkan pada hati setiap penghuninya. Salah satu ciri orang beragama adalah bisa bersahabat dengan orang yang berlainan agama. Kita harus menghormati dan menghargai apa pun pilihan orang terhadap suatu agama. Dengan begitu, kita akan selalu bisa bekerjasama.

Rupanya rasa kebersamaan dalam ikatan kemanusiaan mampu menjadi pondasi keharmonisan sosial. Pergaulan sosial berjalan di atas relnya sendiri, dan keberagamaan menyiramkan air kedamaian di atasnya. “Kesahalehan sosial dalam pergaulan sehari-hari mencerminkan bersih tidaknya hati kita,” tandasnya.
M. Falikul Isbah