Kamis, 11 Desember 2008

ANAK PINGGIRAN BUKAN ANAK PENGIBA

KOMPAS, Kamis, 13-05-1999.

JANGAN lagi pakai istilah anak jalanan, kalau Anda tak ingin
diumpat. Sebab "anak jalanan" kini punya konotasi "anak yang berada
di jalan" untuk mengemis, mengiba-iba dengan ecrek-ecrek tutup botol,
yang perlu dikhotbahi oleh Rano Karno "boleh kerja di jalan asal tetap
sekolah". Yang oleh Depsos dan pemda dianggap perlu ditertibkan di
rumah singgah atau pesantren.

Ada pula yang melabel anak jalanan sebagai "teroris" di perempatan
jalan, yang jika tidak dikasih duit maka mobil Anda dicoret paku.
Malah
ada yang bikin generalisasi bahwa pencongkel kaca spion mobil mewah
adalah anak jalanan.

Tidak semua anak jalanan adalah pengemis atau teroris. Yayasan
Anak Merdeka di Bandung pimpinan Nugroho GPH terbukti berhasil
mengajak anak-anak jalanan untuk melukis dan membuat kerajinan serta
menerbitkan tabloid Bebas yang mereka kelola dan isi sendiri.

Begitu pula dengan Yayasan Lembaga Pengkajian Sosial (YLPS) Humana
alias "Girli" di Yogyakarta pimpinan A Didit Adidananta yang tidak
mengindoktrinasi anak-anak jalanan untuk jadi anak "baik-baik"
dan "normal", namun malah membebaskan mereka berkreasi dan
berekspresi. Majalah Jejal yang mereka terbitkan mencerminkan filosofi
calistung (pemberantasan buta kemampuan dasar) yang sifatnya
partisipatif. Beberapa anak "Girli" malah jadi bintang film dan
bermain dengan prima di film Daun di Atas Bantal.

Bandingkan pula dengan anak-anak yang tergabung dalam Sanggar
Anak akar Institut Sosial Jakarta (ISJ), yang serius belajar main
gitar, rebana, menyanyi dan tampil berteater. Mereka ini lebih bangga
menyebut diri sebagai "anak pinggiran", karena selain ada yang memang
benar-benar "berprofesi" sebagai anak jalanan, ada pula anak
perkampungan kumuh dan dari keluarga miskin.

Panggilan "anak pinggiran" lebih menyiratkan cibiran kepada mereka
yang berpunya dan berkuasa karena mereka inilah yang biasa
meminggirkan
anak-anak yang kurang beruntung. Anak pinggiran bukanlah anak pengiba-
iba yang mengharap belas kasihan atau yang cuma meratapi nasib jika
kena penertiban aparat.

Inilah metamorfosis yang dialami Ibe Karyanto, pengasuh Sanggar
Anak akar. Empat tahun lalu ketika ia mementaskan karyanya, operet
Nyanyian Ranting Kering, lagu-lagunya bernada sendu dan masih pakai
kata "anak jalanan" yang mengharapkan untuk dipahami, sementara pada
pementasan Muka-muka di Kaca hari Selasa (11/5) lagu-lagunya lebih
gagah, tegar dan sarat dengan elan vitalea "anak pinggiran". Keduanya
dipentaskan di tempat terhormat, yaitu di Graha Bakti Budaya Taman
Ismail Marzuki (TIM).

Dengar saja lagu Anak Pinggiran yang juga menjadi judul kaset
lagu-lagu pengisi Muka-muka di Kaca: Inilah cerita anak
pinggiran/menggenggam sebuah harapan/tegar niatnya menantang isi
kota/ingin wujudkan cita-citanya/tak pernah takut dan tak pernah
surut/walau dikurung duka/hidup ceria walau orang suka
menyingkirkannya.
***

MENYAKSIKAN pementasan Atin, Dini, Kris, Sugi, Ucil, dan
kawan-kawannya yang kebanyakan masih kelas tiga sampai lima SD,
sungguh berbeda dengan menonton video klip Joshua yang begitu
artifisial dan komersial. Anak-anak Sanggar akar ini lebih lugu dan
alami. Atin misalnya, tak merasa sungkan untuk menggaruk kaki yang
gatal karena gigitan nyamuk atau menyerahkan mikrofon ke temannya
karena ia sudah kecapaian. Mereka juga mengakui bahwa mereka terkadang
tak mengerti pada sebagian lirik lagu-lagu yang mereka nyanyikan.

Berbeda dengan penampilan anak-anak yang lebih spontan dan
lantang, para pemain dewasa yang mendukung Muka-muka di Kaca justru
agak kedodoran akting dan vokalnya. Tema cerita yang menokohkan
pejabat kaya-raya Hartono dan istrinya yang suka foya-foya, terkesan
agak "hitam-putih". Simak saja lagu Ciptaan yang dinyanyikan Atin dan
kawan-kawannya: Kami bukan yang paling benar/kami juga manusia yang
sama/hanya karna tak punya kuasa/jadilah kami selalu dimangsa.

Betapapun, anak-anak pinggiran asuhan ISJ telah menunjukkan
dengan bernyanyi dan berpentas mereka meraih lagi percaya diri dan
martabat. Sebagai anak-anak pinggiran pun mereka berhak ikut memiliki
dan mewarisi negeri ini. Ini tercermin pada tekad mereka lewat lagu
Saatnya Kami Bicara: Tetapi aku takkan sekalipun/merunduk tunduk dan
mengalah pada duka/saatnya pastikan tiba/aku harus bicara/tuk merebut
semua milikku.

Mudah-mudahan tidak ada pejabat yang lantas mewaspadai karya
sanggar ISJ ini berbau marhaenis, apalagi Marxis... (ij)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar